Senin, 08 Desember 2008

Asas Pemberalkuan Ekonomi Syariah

2. Asas Pemberlakuan Ekonimi Syariah

Kata asas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna dasar (sesuatu yan menjadi tunpuan berpikir atau berpendapat).[1] Dari maka ini maka tidak salah di kalangan ahli hukum Islam sering menyamakan asas hukum dengan sumber hukum.[2]

Peraturan hukum adalah ketentuan konkrit mengandung bagaimana cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum merupakan suatu kenyataan dari asas hukum. Wajarlah di antara pakar hukum mengidentikan asas hukum dengan jiwa dari norma hukum. Berarti semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya. Dengan kalimat yang sederhana bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum dan abstrak.

  1. Konsep af’al al mukallafin (pembebanan hukum)

Konsep af’al al mukallaf[3] membicarakan perilaku orang Islam yang telah terkena beban dari segala tuntutan dan tuntutan Allah yang terdapat dalam Alqur’an atau Assunnah (semua perkataan, perbuatan dan kesan-kesan sahabat atas perilaku Nabi SAW yang secara ilmiah dikaitkan kepada Rasulullah SAW)[4].

Konsep mukallaf merupakan perilaku umat Islam bukan hanya hasil pemikiran kontemplasi ulama. Tertapi, dalam konteks berperilaku terdapat pendekatan kultural yang berkaitan dengan adat atau tradisi masyarakat yang sifatnya lokal, yang disebut dengan al ’urf. [5] Di kalangan ahli hukum Islam terutama ahli hukum Islam klasik menjadikan adat sebagai kaidah hukum Islam, al ’adat al muhkamat[6] yang dijadikan landasan berperilaku.

Al ’af al mukallaf dapat teraplikasi dalam perilaku masyarakat yang terkait dengan keberlakuan hukum ekonomi syariah. Dapatkah masyarakat menjadikan sebagai sebuah instrumen untuk menilai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang Islam dalam transaksi syariah.

  1. Konsep Tazkiyah

Konsep tazkiyah mengandung makna halal dan thayyibah. Halal sebagai standar nilai yang bermakna pembebasan dari segala unsur yang diharamkan. Menurut M. Arfin[7] setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam bengkai kerindaan Tuhan, maka objek ekonominya harus halal dan dalam proses pengelolaannya tidak mengandung gharar. Pemanfaatannya harus sesuai dengan tuntutan syariah, dilengkapi dengan itikad (niat) yang suci. Sedangkan thayyibah sebgai standar nilai mengandung makna bernfaat untuk kesehatan dan keselamatan

Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam menilai sistem ekonomi Islam.[8] Pandapat pertama dan merupakan pendapat umum pelaku ekonomi syariah bahwa sistem ekonomi syaria itu pada prinsipnya adalah ekonomi konvensional, yang oleh ahli hukum ekonomi Islam diberi label nilai Islam. Pendapat kedua memahami konsep ekonomi syariah itu dimulai dari nilai-nilai Islam, (iman, amal dan ikhlas). Iman terkaiat dengan otoritas Tuhan yang menciptakan alam ini beserta isinya. Amal terkait dengan pertanggungan jawab manusia sembagai pengemban khalifah dan pelaksana syariah-Nya. Sedangakan ihsan terkait dengan konsesistensi manusia dalam menempatkan diri sebagai khalifah dan sebagai abdi Allah.

Dari kedua pendapat tersebut pada asasnya memiliki unsur persamaan yaitu unsur kesucian yang disebut dengan tazkiyah. Konsep Tazkiyah menempatkan unsur kehalalan dan kemanfaatan sebagai dasar penilaian boleh tidaknya sebuah produksi dan atau suatu perikatan. Apabila dalam sebuah produksi salah satu tahapan terkontaminasi dengan unsur keharaman maka produksi itu dipandang haram dan tidak layak untuk dikonsumsi. Demikian juga, dalam sebuah perikatan dalam pelaksananaannya tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah (riba, judi, ketidak jelasan obyek perikatan, objek perikatan barang yang haram).

  1. Konsep ihsan (benevolence)

Setiap manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya atau dengan makhluk lain ciptaan Tuhan bahwa interaksi yang dilakukan itu karena dapat diketahui dan dipahaminya[9]. Jika tidak demikian, maka manusia harus menyadari bahwa interaksinya itu dikontrol oleh setiap makhluk Tuhan. Keberadaan Tuhan sebagai sosial kontrol memberikan dampak kepada pelaku ekonomi atau pelaku bisnis agar dapat membedakan mana perilaku ekonomi yang dapat dilegalkan berdasarkan prinsip syariah dan yang tidak dapat dilegalkan menurut prinsip syariah.

Kemapuan hakim untuk menyelesaikan sebuah sengkata ekonomi selain karena kompetensi relatif maupun kompetensi absolut, juga harus sesuai dengan sejaumana kemapuan hakim untuk menguasai sebuah materi hukum baik yang terkait dengan kemampuan dalam hukum prosudural maupun kemampuan menguasai dan memahami hukum ekonomi syariah.

3. Persepsi Masyarakat

Persepesi masyarakat terhadap kompetensi Pengadalian Agama tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah, tentunya tidak terlepas dari pandangan tentang diberlakukan hukum Islam di Indonesia. Perbedaan pandangan antara hukum positif dan Islam masih mewarnai perjalanan sejarah hukum nasional, persoalan dikotomi pemisahan agama dengan negara, dan alasan-alasan yang tidak konstitusional bahwa Indonesia bukan negara agama. Pandangan semacam ini menurut Busthanul Arifin[10] merupakan warisan masa lalu ketika penyusanan UUD Republik Indonesia 1945 umat Islam dikalahkan dengan cara tidak elegan, dengan menghapus kesepakatan dengan cara tidak etis. Akibatnya berlanjut sampai sekarang dengan terpinggirkannya umat Islam yang mayoritas muslimnya terbesar melibihi negara Islam manapun juga.

Pemahaman diketomi hukum antara hukum Islam dengan hukum positif memberikan dampak terhdap pemahaman masyarakat atas keberlakuan hukum ekonomi syariah. Proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan pelihan hukum tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah, turut menjadi perbedaan pesepsi.

Kendatipun demikian, persepsi masyarakat terhadap hukum tidak bersifat monolitik. Sejumlah variabel sangat memengaruhi cara pandang masyarakat tentang hukum, terutama filsafat dan nilai-nilai.[11] Filsafat dan nilai memiliki kekuatan tidak saja dalam mengkonstruksi persepsi masyarakat tentang hukum, tetapi juga membentuk sikap dan kesadarannya terhadap hukum[12].

Hukum yang didasarkan pada filsafat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law) dijunjung tinggi dan menjadi landasan hidup oleh masyarakat di mana hukum itu berlaku. Demikian sebaliknya, hukum yang bertentangan dengan filsafat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kurang dihormati, kendatipun dipatuhi.[13] Kepatuhan masyarakat terhadap hukum bukan karena wibawa baik buruknya subtansi hukum, tetapi karena kehendak kekuatan yang memaksa dan sanksinya.



[1] Tim Penyusun Kamus, op.cit., hal. 60

[2] Muhammad, op,cit., hal. 25

[3] Kata mukallaf merupakan istilah dalam hukum Islam yang disandarkan pada orang Islam yang mencapai usia pembebanan hukum, yaitu dewasa dan berakal yang dapat membedakan baik dan buruk

[4] Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 90

[5] Al-urf adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang bersifat normatif yang dapat dijadikan titiktolak berperilaku. Ibid., hal. 94. Amir Syarifuddin membedakan ‘adat dengan ‘urf, adat hanya mengandung dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi mengenai segi baik dan buruknya perbuatan itu (bekonotasi netral). Sedangkan ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 364

[6]Ibid.,370

[7] M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospeknya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal, 84

[8]

[9] Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya maka haru diyakini bahwa Tuhanmu melihat kamu. Hadis

[10] Busthanul Arifin, op.cit., hal. 323

[11]Tituts et.el. Persoalan-Persoalan Filsafat dalam Muhammad, loc.cit.

[12] Ibid.

[13] Ibid., hal. 18

Perspektif Peradilan Agama

F. Hukum Pembuktian

Ada dua macam produk peradilan, yaitu penetapan dan keputusan, penetapan bermuara kepada kebenaran sedangkan keputusan bermuara kepada keadilan.[1] Kedua produk peradilan tersebut ditempuh dengan proses hukum formil. Karena bagaimanapun ’’kebenaran sebuah penetapan atau keadilan sebuah keputusan tidak didasarkan kepada sebuah proses hukum formil melahirkan penetapan atau keputusan yang ambiguity.

Hukum pembuktian sebagai bagian dari hukum formil sangat menentukan kebenaran sebuah fakta hukum. Produk pengadilan baik penetapan maupun keputusan ditempuh dalam sebuah proses pemeriksaan perkara yang didalamnya terdapat sebuah tahapan pembuktian. Pembuktian secara global merupakan sebutan segala sesuatu yang menjelaskan dan mengungkapkan kebenaran.[2]

Di dalam HIR Pasal 16/R.Bg Pasal 283 dikatakan bahwa setiap orang yang menurutnya mempunyai satu hak atau suatu perbuatan untuk mempertahankan haknya, atau menangkis hak orang lain, maka harus membuktikan adanya hak itu atau perbuatan itu.[3] Untuk membuktikan kebenaran selain akta autentik harus juga didukung dengan dua orang saksi, atau empat orang saksi dalam masalah zina, atau seorang saksi yang mempunyai integritas pribaddi kesalehan yang menurut hukum tidak terhalang haknya untuk menjadi saksi atas nama dua orang.[4]

Di dalam hukum pembuktian Islam dikatakan penggugat berkewajiban untuk membuktikan suatu hak atau suatu perbuatan yang menjadi dasar tuntutannya. Sedaangkan Tergugat menginkari tuntutan hak atau perbuatan yang ditutujukan kepadanya dengan mengikrarkan sumpah di depadan pengadilan.[5] Pembebanan pembuktian atas Penggugat untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan petitum gugatannya. Hukum pembuktian menempatkan sebuah fakta hukum untuk menemukan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya.

G. Prespektif Hakim Peradilan Agama

Pelimpahan sengketa ekonomi syariah kepada lembaga Peradilan Agama memberikan konsekuensi bagi hakim di linngkungan Peradilan Agama untuk membinahi diri, baik dari segi kemampuan intelektual, profesionalisme, integritas moral dan independensi dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.

1. Pengetahuan Hakim

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak terhadap berbagai kehidupan umat manusia. Tidak ada sekat yang memberikan peluang bagi hukum terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya (independence knologi). Oleh karena itu menurut Abdul Manan[6] hakim Peradilan Agama haruslah mempunyai kadar ilmu pengetahuan yang cukup, tidak hanya mengetahui ilmu hukum Islam saja tetapi juga harus mengetahui hukum umum dan perangkat hukum yang berlaku serta mampu mengimbangi perkembangan hukum itu sendiri dalam arus globalisasi seperti sekarang. Dengan pengertian lain hakim Peradilan Agama haruslah mempunyai wawasan yang luas terhadap ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan secara akademis untuk mengantisipasi berbagai problem hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Kemapuan hakim dalam menyelami sebuah perkeara selain pengetahuan hakim, juga hakim itu seorang ahli ijtihad[7], untuk menggali atau menyelami aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan perkara yang diperiksanya. Dalam hal ini hukum Islam menempat hakim yang mampu berijtihad sebagai prioritas utama, walaupun di kalangan ahli hukum Islam terutama empat ahli hukum Islam[8] yang oleh umat Islam menjadikan pendapat mereka sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan permasalahan sosial keagamaan.

Menurut Imam Syafi’i[9] seorang hakim itu harus ahli ijtihad, pendapat yang sama dikemukakan oleh Abdul Wahab dari mazhab Maliki. Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal[10] keputusan hakim yang bukan ahli ijtihad dibolehkan. Kecakapan, kecerdasan, dan ketepatan hakim dalam memutuskan suatu perkara tentunya didasarkan pada seberapa jauh kebenaran fakta-fakata yang dikemukakan oleh pihak berperkara. Keterbatasan pengetahuan dapat menimbulkan ketidak tepatan dalam pengambilan keputusan[11].

Hakim Peradilan Agama untuk memeriksa sebuah perkara harus menyadari sepenuhnya bahwa menegakkan keadilan adalah suatu kewenangan Tuhan yang diamanatkan kepadanya. Untuk itu harus memahami sifat-sifat hukum Islam. Ada lima sifat hukum Islam[12] yang melekat pada dirinya sebagai sifat asli, yaitu bidimenansional, adil, individualistik dan kemasyaakatan, komprehensif dan dinamis.

Sifat bidimenansional, karena hukum Islam mencakup hubungan vertikal (hablun min Allah) dan hubungan horizontal (hablun minan naas). Dalam pandangan Islam menurut Muhammad Tahir Azahary[13] eksistensi manusia tidak beerdiri sendiri. Titik senteral kehidupan manusia dan alam semesta adalah Tuhan dalam doktrin Islam adalah Allah. Manusia dan alam semesta ada dalam genggamanNya. Keterkaitan manusia dan alam semesta serta makhlukNya ada dalam hubungan vertikal dan horizontal.

Hubungan vertikal adalah keterkaitan manusia sebagai abdi (hamba), sedangkan hubungan horisontal keterkaitan manusia sebagai khalifah yang mempunyai tugas untuk memakmurkan bumi. Manusia sebagai abdi memiliki tugas untuk menyebah dan meminta sekaligus mempertanggungjawabkan segala aktifitasnya sebagai khalifah. Karena manusia pada satu sisi sebagi abdi dan di sisi lain sebagai khalifah maka sifat dimenansional mengandung unsur Ilahiyah dan insaniyah (manusiawi).

Karena itu, bagi setiap hakim dalam mengimplementasi hukum ekkonomi Islam (ekonomis syariah) bukan hanya mengandung makna sosial dalam arti aindividu dan kelompok yang memperoleh jaminan dan perlindungan hukum mengenai hak-haknya, tetapi juga mengandung ubudiyah[14] sebagai pertanggungan jawab kepada Allah atas putusan yang ditetapkan.

Sifat adil dalam hukum ekonomi Islam tercermin dalam sistem hukum jual beli (al bai’a) yang tercermin dalam praktek baik dialakoni oleh individu, maupun oleh kelompok dalam bentuk usaha bersama. Namun, dalam perilaku ekonomi memeliki tanggung jawab sosial dan beban moral kemasyarakatan. Tanggung jawab sosial dan beban moral memeliki kewajib untuk memberikan santunan berupa zakat, infak, sedakah, hibah dan wakaf untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang merupakan lembaga-lembaga sosial Islam.[15]

Sifat individualistik dan kemasyarakatan, dari sudut hukum ekonomi Islam memberikan posisi bagi manusia baik sebagai persorangan maupun sebagai kelompok kemasyarakatan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup baik untuk memenuhi kebuthan pribadi, keluarga maupun kelompok masyarakat merupakan kewajiban sosial. Allah telah memerintahkan kepada setiap orang atau kelompok yang mempunyai kecerdasan spritual apabila telah selesai melakukan penyembahan, maka menyebar di seanturo bumi untuk mencari harta kekayaan.[16]

Sifat komfrehensif, hukum ekonomi Islam menganut kepemilikan indvidual dan kolektifitas. Hukum ekonomi Islam menempatkan orang sebagai subyek ekonomi dan berkewajiban untuk meletakan norma hukum maupun moral ekonomi. Sistem ekonomi yang dibangun bersifat washatha, tidak bersifat individualistik seperti sistem ekonomi kapatalisme dan tidak sosialis seperti sistem ekonomi sosialisme. Setiap kepemilikan harta kekayaan pribadi terdapat hak-hak sosial, dan setiap kepemilikan harta kekayaan kolektif terdapat hak-hak pribadi.

Hukum ekonomi Islam memposisikan harta kekayaan sebagai investasi ganda, di satu sisi untuk pemenuhan hidup pribadi, keluarga dan kelompok masyarakat, di satu sisi yang lain investasi ibadah, berupa zakat, infak, sadakah, hibah, wakaf, korban dan syarat untuk melaksanakan haji. Karena hukum Islam menempatkan kekayaan sebagian bagian dari sarana ibadah, maka setiap usaha ekonomi harus memenuhi syarat keshahian.[17] Syarat keshahihan sebagai nilai ukur untuk menentukan kebolehan melakukan transaksi bisnis.

Dalam sejarah peradilan Islam kemapuan pengatuan hakim merupakan salah satu unsur untuk menentukan batas kewenangan seorang hakim. Di masa kekuasaan Bani Abbasiah pengangkatan hakim dibatasi oleh tempat, tugas, waktu dan kewenangannya.[18] Ada hakim yang diangkat dengan kewenangan menyelesaikan perkara tertentu, sampai kepada seberapa rumitnya suatu perkara. Bahkan didasarkan kepada pengetahuana hukum hakim yang terkait dengan perkara tertentu. Menurut Abu Abdullah Al Anshari di Basrah selalu diangkat hakim di Masjid Jami, yang disebut hakim masjid berwenang menyelesaikan perkara perdata yang tidak melebihi dua ratus dirham dan menentukan nafkah.

Kemampuan hakim dalam memilah kebenaran sebuah ”fakta hukum” terletak pada sejauhmana pengetahuan hukum hakim. Petunjuk Rasullah SAW kepada umat Islam agar jangan mengangkat hakim yang tidak mempunyai pengetahuan hukum.[19]

2. Profesionalisme

Menurut Magnis Suseno[20] profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian khusus. Senda dengan pandangan Magna Suseno, E. Somaryono profesi adalah suatu jabatan yang disandang oleh seseorang dengan mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalu pelatihan atau pengalaman atau memperoleh melalui keduanya.[21] Sedangkan profesionalisme merupakan suatu persyaratan yang diperlukan untuk menjabat suatu pekerjaan (profesi) tertentu yang melaksanakan memerlukan ilmu pengetahuan, keterampilan, wawasan dan sikap yang mendukung (komitmen) sehingga pekerjaan profesi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara individu dengan individu lainya. Konflik di antara individu sering tidap dapat diselesaikan oleh pihak yang terkait. Untuk menyelesaikannya dapat dibutuhkan campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian imparsial. Penyelesaian itu, tentunya harus berdasarkan pada patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Lembaga peradilan memiliki fungsi ini, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik, kewenangan demikian dikenal dengan kekuasaan kehakiman[22] yang dilakukan oleh hakim.

Menurut Suhrawardi K.Lubis[23] agar hakim dapat menyelesaikan masalah yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Hakim dalam mengambil keputusan terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum menjadi landasan yuridis keputusannya. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis[24] hakim memiliki kekuasaan yang luas terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah yang dihadapkan kepadanya.

Hakim dalam menjalankan tugas sepenuhnya memiliki tanggung jawab yang besar dan dapat menyadari tanggung jawab itu. Sebab keputusan hakim menurut Arif Sudarta yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis[25] membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para yustiabel dan atau orang lain terkena jangkauan keputusan itu. Selanjutnya dikatakan bahwa keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan pendiritaan lahir dan batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.

Dalam perjalanan sejarah peradilan Islam, di masa Umar bih Khattab menjadi khalifah telah meletakkan pedoman dasar bagi peradilan yang dijadikan pedoman oleh setiap hakim dan sampai sekarang masih tetap akses. Di antaranya adalah hakim harus memahami subtansi gugatan atau aduan yang diajukan, dan berikanlah putusan setelah terbukti kebenaran gugatan atau aduan itu, sesungguhnya tidak ada manfaat sebuah pembuktian kebenaran yang tidak mendapat perhatian hakim.[26] Pada item yang lain dikatakan pergunakanlah nalar (kemapuan intelektual) pada suatu gugatan atau aduan yang tidak ada dasar hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw., kemudian qiyas-kan (analogikan) unsur-unsur dalam gugatan atau aduan itu satu sama lain sehingga ditemukan hukum yang hampir sama, dan ambillah hukum yang lebih sama dengan kebenaran.[27]

Profesionalisme hakim terletak pada sejauhmana kemapuan intelektual dan kepampuan spritual hakim dalam menilai sebuah kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw., mengingatkan kepada setiap orang muslim bahwa bekerjalah (beramallah) seakan-akan kamu melihat Allah, apabila kamu tidak melihat Allah yakinlah bahwa Allah pasti melihat kamu.

3. Integritas Hakim

Di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.[28] Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata integritas diartikan dengan mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.[29]

Ahmad Ali[30] menginstresing integritas dengan kewibawaan dan kejujuran, yang bernuansa kebebasan dan kedaulatan. Menurutnya integritas adalah persoalan moral yang berhubungan dengan kejujuran dan keteladanan. Dia bersandar pada pendapat Stephen L. Carter[31] bahwa:

Apabila saya menyebut integritas, saya mempunyai sesuatu yang amat sederhana dan sangat jelas di pikiran. Integritas, sebagaimana yang akan saya gunakan sebagai istilah, membutuhkan tiga langkah:

1. Membedakan apa yang benar dengan apa yang salah

2. Melaksanakan apa yang telah Anda kaji itu, bahkan bila menderita rugi,

3. Mengatakan secara terbuka bahwa Anda sedang melaksanakan berdasarkan pemahaman Anda mengenai apa yang benar dan yang salah.

Kreterian yang pertama menangkap gagasan integritas sebagai sesuatu yang menuntut suatu derajat perenungan moral. Tahap kedua membawa masuk cita-cita seseorang yang memiliki integritas sebagai orang yang teguh, yang mencukup perasaan memenuhi janji-janji. Tahap ketiga mengingatkan kita bahwa seseorang yang memiliki integritas itu tidak malu-malu melakukan hal yang benar.

Kewibawaan dan kejujuran dapat terefleksi dari kepatutan dan ketaatan kepada nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, untuk terselengaranya Negara hukum republic Indonesia, menuntut hakim memilki integritas dan komitmen yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual[32].

Menurut Abdul Manan[33] integritas adalah keutuhan pribadi dalam bentuk kejujuran dan kepribadian yang baik. Selanjutnya dikatakan integrit hakim Peradilan Agama dapat terpelihara dengan berpegang teguh pada jabatan Pegawai Negeri Sipil, sumpah jabatan, ”kode etik hakim”[34] dan tetap berpegang kepada ajaran agama Islam sepanjang hidupnya.

Kreteria yang dikemukakan oleh Abdul Manan tersebut yang sangat esensi dari integritas hakim adalah pengaman terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Konsep taqwa yang bernilai universal yang terdiri atas antara lain nilai amanat, jujur, benar, adil, konsisten, malu atas kesalahan diperbuat, ikhlas dan menyakini Allah melihat segala perbuatannya yang dilakukan dimana pun dia berada, serta menghendaki segala aktifitas di peradilan dilakukakan semata untuk beribadah kepada Allah.

Apakah memang benar bahwa kekuasaan kehakiman itu mandiri atau independen dalam arti sebebas-bebasnya. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.

Demikianlah jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-badan peradilan dijamin. Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi kekuasaan kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat Paulus Effendie Lotulung[35] tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat.

Selanjutnya dikatakan kekuasaan kehakiman yang independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrarymanner”.[36]

               Independensi adalah salah satu ciri universal dari pengadilan. Siapa pun tidak boleh mencampuri independensi hakim, namun bukan berari tidak bisa diawasi. Independensi atau kebebasan hakim dalam memutus perkara diberikan agar keadilan bisa dijamin tanpa campur tangan pihak luar.

Hakim sebagai penegak hukum tidak boleh bertindak sewenang-wenang akan tetapi mendapat restriksi yang sah dalam hukum terhadap itu, Ia harus sub-ordinated dan tidak dapat bertindak kontrak legem, hakimlah yang menjadi landasan dalam segala tindakan dan dan putusannya.[37] Sikap obyektifitas hakim sangat orgen dalam memeriksa dan mengadili para pihak yang berperkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Para pihak yang berperkara diperlakukan sama di depan hukum dan pengadilan, supaya orang yang merasa mulia tidak cenderung kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak berputus asa atas keadilan yang diputuskan.[38]

4. Fasilitas Peradilan Agama

Ada tiga syarat[39] yang menjadi dasar dibentuk sebuah peradilan, 1) adanya legalitas; 2) adanya perangkat kelembagaan (hakim-hakim dan fasilitas fisiknya, dan 3) adanya hukum material yang dapat dijadikan pedoman dalam kompetensi absolutnya. Peradilan Agama memenuhi ketiga syarat tersebut.

Agar aparat Peradilan Agama menjalankan tugas dengan baik, mak perlu didukung dengan fasilitas sarana dan prasarana yang baik pula. Sarana dan prasarana sangat diperlukan adalah komputer, sarana persidangan, buku-buku perpustakaan, gedung Pengadilan Agama yang standar, dan sarana lain yang dapat mendukung tugas. Sampai sekarang, walaupun ada pembaharuan setelah satu atap dengan Mahkamah Agung, namun masih diterdapat gedung Pengadilan Agama belum memenuhi standar. Gedung Pengadilan Agama seperti balai sidang yang sempit tidak mencerminkan sebuah gedung lembaga kekuasaan kehakiman yang seharusnya berwibawa dan strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan umat Islam pencari keadilan.[40]



[1]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, diterjemahkan oleh Adnan Qahar dan Anshuruddin, dengan Judul Hukum Acara Peradilan Islam. Pustaka Pelajar, Jakarta, 2006, hal. 193

[2] Ibid., hal. 15

[3] M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2005, hal. 35

[4] Ibnu Qayyim al Jauziyah,loc.cit.

[5] Al bayyinatu ‘alaa al mudda’ii (Hadis), Ibid.

[6] Abdul Manan. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam Sisgtem Peradilan Islam), Prnada Media, Jakarta 2007, hal. 19

[7] Ijtihad terbagi atas ijtihad istinmbati dan ijtihad tatbiqi, keduan ijtihad tersebut bagi seorang hakim harus memilikinya setidak-tidaknya memiliki ijtihad tatbiqy, Abu Zahrah, Ushul Fiqh,

[8] Imam Abu Hanifah (mazhabHanafi), Imam Malik (mazhab Maliki), Imam Syafi’I (mazhab Syafi’i) dan Imam Ahmad bin Hambal (mazhab Hambali)

[9] Ibnu Rusyd, Bidyatul Mujthaid, Darul Fikr, Beirut, t.th., hal.

[10] Ibid.,

[11] Terdapat tiga golongan hakim, dua golongan masuk neraka (hakim yang getahuan hukum, tidak mempuyai pen, dan hakim berpengetahuan hukum dan memahami kebenaran tetapi memutuskan berdasarkan -fakata yang cacat) dan satu golongan masuk surga (hakim yang mempunyai pengetahuan hukum, dan memahami persoalan perkara dan memutuskan dengan benar. Abud Daud, Sunan Abud Daud. Juz II, Mustafa al Halabi, Mesir, 1952, hal. 487

[12] Muhammad Tahir Azahary, Negara Hukum. Suatu Studi tentang Prinsisp-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 52

[13] Muhammad Tahir Azahary, “Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam dalam Masyarakat Modern Indonesia” Laporan Seminar Sehari Pengadilan Agama Sebgai Peradilan Keluarga Dalam Masyarakat Modern. Kerja Sama Fakultas Hukum UI dengan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Agama, Jakarta, 1993, hal. 27

[14] Hakim dalam memutuskan perkara dengan tepat dan benar berdasarkan hasil ijtihad yang benar mendapat dua pahala, dan hasil ijtihad yang salah mendapat satu pahala. Abdu Daud, Sunan Abud Daud,

[15] Muhammad Tahir Azhary, op.cit., hal. 29

[16] Q.S. Al Juma.ah, ayat

[17] Syarat-yarat keshahihan, pelaku ekonomi bersifat amanah, jujur, adil, dan transparasi dalam melakukan transaksi serta barangnya halal dan berkualitas.

[18] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal. 37

[19] Muhammad Salim Madkur, Alqadha’u fi al Islam, Terjemahkan oleh Imran dengan judul Peradilan dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hal. 25

[20]F. Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Hukum, Kanisus, Yogyakarta, 1991, hal. 1

[21]E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, “Norma-norma Bagi Penegak Hukum”, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 33

[22] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam.Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 25

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Hasbi Ash Shiddiqy, op.cit., hal. 28

[27] Ibid., hal. 29

[28] Pasal 31-35 dan Pasal 41 mengandung asas-asas hukum yang terkait dengan kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan. M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2005, hal. 8-9

[29]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hal. 383

[30] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta 2005, hal. 41

[31] Ibid.

[32]Busthanul Arifin, Masa Lampau Yang Belum Selesai, Percikan Pemikiran Tentang Hukum dan Pelaksanaan Hukum, O.C. Kaligis & associates, Jakarta, 2007, hal. 147-148

[33] Abdul Manan, op.cit., hal. 196

[34] Kode etik Hakim dirincikan atas, etika kepribadian hakim, etika melakukan tugas jabtan, etika pelayanan terhadap pencari keadilan dan etika hubungan sesama rekan hakim. Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 102-103

[35] Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)

[36] Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)

[37]John Z. Laudoe, Fakta dan Norma dalam Hukum Acara. Bina Aksara, Jakarta,1983, hal. 67

[38] Salah satu pesan Khalifah Umar bin Khatthab, Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hal. 28

[39]Dadan Muttaqien, Sidik Tono dan Amir Mu’allim, op.cit., hal. 26

[40] Abdul Manan, op.cit., hal. 202

Nilai-Nilai Ekonomi Syariah

C. Nilai-Nilai Universal Ekonomi Syariah

Ekonomi Islam di bangun atas dasar syariat Islam, karena ia integral dari agama Islam[1]. Ekonomi Islam akan mengikuti agama Islam dalam berbagai aspeknya. Islam sebagai sistem kehidupan (way of life), Islam menyiapkan berbagai perangkat aturan lengkap bagi kehidupan manusia, termasuk ekonomi. Ada beberapa aturan yang bersifat pasti dan bersifat permanen, sementara beberapa aturan yang bersifat konstektual sesuai dengan situasi dan kondisi[2].

Dalam sistem ekonomi syariah prinsip yang sangat fondemental bahwa kekuasaan yang tertinggi hanya Allah semata[3], manusia diciptakan hanya sebatas melakukan eksplotasi dan ekselarasi di bumi dalam batas-batas tertentu. Oleh karena manusia tidak menyelahi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Pencitanya. Dalam arti lain menurut al Bukhari dalam Syamsul Anwar[4] manusia sanggup memikul amanah yang diberikan Tuhan kepadanya dan untuk itu, ia bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan. Apabila pernyataan tersebut dapat dikonkritkan maka menurut Syamsul Anwar[5] kenyataan manusia diciptakan sebagai makhluk Tuhan yang memiliki kapasitas moral sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggung jawaD.

Islam menempatkan bahwa segala makhluk di alam jakat raya ini hak mutlak Allah. Sedangkan manusia hanya mempunyai hak sebatas memanfatkaannya. Allah menjadikan manusia sebagai penentu kebijakan di bumi[6]. Manusia diberikan otoritas untuk mengatur kehidupannya selayak mungkin. Pemberian otoritas tersebut, bukan berarti manusia dibiarkan untuk mengelola bumi ini sebebas-bebasnya. Tetapi, manusia dibatasi dengan nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup.

Islam memandang kehidupan manusia sebagai satu kesatuan yang utuh, tidak memilahkan kehidupan antara ruhiyah dan kehidupan jesmaniyah. Ini berarti Islam tidak mengenal kehidupan hanya berorientasi akhirat semata, tanpa menghiraukan kehidupan dunia, demikian juga sebaliknya, hanya memikirkan kehidupan duniawi tanpa memikirkan kehidupan akhirat[7].

Allah menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepada-Nya[8]. Penyembahan kepada Allah sebagai konsekuensi dari pertanggungjawaban manusia sebagai penentu kebijakan di bumi. Sebagai penentu kebijakan, manusia dibekali dengan potensi fujur dan potensi taqwa [9], kedua potensi tesebut saling mendominasi. Potensi taqwa mengantarkan manusia untuk melakukan pekerjaan yang bermanfaat bagi dirinya, bagi sesamanya dan untuk alam sekelilingnya. Sedangkan potensi fujur mengantarkan manusia untuk melakukan pekerjaan yang mendatangkan modarat bagi dirinya, sesamanya dan alam sekelilingnya.

Prinsip-prinsip ekonomi syariah membentuk keseluruhan kerangka yang menjadi dasar prilaku dalam bermuamalah. Menurut Ali Abd al-Rasul[10], prinsip ekonomi syariah didasarkan atas lima nilai universal[11], yakni tauhid (keyakinan hanya satu Tuhan yaitu Allah), ’adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah) dan ma’ad (hasil), kelima dasar ini menjadi inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi Islam.

1. Keesaan Tuhan (tauhid)

Tiang yang paling utama dalam keyakinan setiap muslim adalah keyakinan adanya Allah yang telah menciptakan manusia dengan segalam makhluk lainnnya. Manusia yang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satu Tuhan yang disembah tidak tunduk kepada siapapun[12]. Ini merupakan dasar bagi Piagam Kebebasan Islam dari segala bentuk perbudakan[13].

Kalimat syahadat sebuah penyaksian manusia bahwa hanya Allah-lah satu-satunya Tuhan yang disembah. Tidak ada persekutuan dengan-Nya dalam bentuk apapun. Meyakini Allah Maha Pencipta dan Maha Memiliki langit dan bumi dengan segala isinya[14]. termasuk manusia dan segala sumber daya alam yang ada. Manusia hanya diberi amanah yang dibekali dengan kemampuan intelektual, emosional dan spiritual[15]. Amanah ini dibaringi oleh Allah denga menjadikan manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan yang disandang manusia hanya untuk sementara waktu dan menjadi ujian bagi manusia. Bukankah pengetahuan yang dimiliki manusia adalah pemberian Allah[16].

Dengan keyakinan dan kepasrahan diri sepenuhnya kepada Allah, seorang pengembala domba di masa pemerintahan Umar Bin Khaththab, dan dihadapan Umar Bin Khaththab anak tersebut menyahutnya dengan perkataan fa ainallah (dimana Allah), atas desakan Umar Bin Khaththab untuk menjual seekor domba kepadanya, pada saat pemelik domba tidak melihatnya. Keyakinan dimanapun kamu berada disana ada wajah Allah, menunjukkan tidak ada ruang dan waktu yang terlepasa dari kekuasaan Tuhan.

Nilai ketauhidan mnjadi dasar pijak bagi manusia dalam melakukan aktifitas untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan agar manusia terhindar dari dominasi sikap fujur. Dengan dasar ketauhidan, Allah memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan yang ma’ruf dan meninggalkan perbuatan munkar. Perintah untuk melakukan perbuatan ma’ruf dan perintah untuk meninggalkan perbuatan munkar bersifat universal.

Perbuatan ma’ruf dalam peristilahan Islam, berarti sikap positif terhadap kehidupan dan orang lain. Allah menciptakan manusia dengan berbagai fasilatas kehidupan yang telah tersedia. Manusia diberikan kebebasan untuk menentukan pilihan berdasarkan potensi yang dimilikinya.

Menurut Siddiqi[17] manusia dilahirkan dengan kebutuhan-kebutuhan yang tidak terhitung; berusaha memenuhinya adalah wajar. Semakin baik kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi semakin baik pulalah dia. Kehidupan yang dipersiapkan secara baik menjamin kedamaian jiwa, kepuasan dan rasa amman. Kondisi jiwa semacam itulah yang menopang terbinanya suasana yang sehat, bermoral dan bercorak spiritual. Tidak satu kemajuan material dan pembangunan ekonomi yang dalam dirinya sendiri bertentangan dengan kemajuan moral dan spiritual. Betapa pun juga semua kemajuan semacam itu, bila diperoleh dengan cara yang baik dan dipertahankan, merupakan sumbangan terhadap moralitas yang sehat dan spiritualitas yang benar. Karena itu, Islam tidak membatasi usaha-usaha untuk meraih kemajuan material. Ia menganggap standar tertentu pemilikan materi sebagai kondisi yang tidak dapat ditawar-tawar bagi perkembangan pola sosial yang diinginkan, ia mendorong setiap individu untuk melakukan semua upaya untuk memperolehnya, ia menyuruh masyarakat untuk menjamin pemilikan tersebut bagi setiap individu dalam segala suasana. Namun terdapat beberapa pembatasan terhadap segala sesuatunya. Dan kehidupan memiliki aspek-aspek lain di luar aspek ekonomi yang menuntut pengabdian dan memerlukan energi serta waktu untuk mengembangkannya secara baik. Kehidupan yang seimbang memerlukan alokasi usaha-usaha dan sumber-sumber manusia secara baik diantara semua aspek kehidupan yang penting itu. Pengabdian secara eksklusif kepada pembangunan ekonomi bisa diartikan sebagai pengabaian terhadap aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan manusia itu.

Moralitas dan spiritualitas tidak menuntut pengusaha untuk mengabaikan ambisi-ambisinya dan berhenti untuk mendapatkan sesuatu yang sederhana; tetapi sebaliknya ia justru menekankan dan mendorong ambisi-ambisinya itu dengan mengajaknya untuk mendirikan perusahaan, disamping memenuhi ambisi-ambisinya sendiri secara baik dalam kaitannya dengan kehidupan dan kenikmatan-kenikmatannya, sebagai sarana untuk melayani umat manusia. Jadi pernyataan bahwa kebaikan dan kesalehanlah yang seharusnya menjadi pusat perhatian manusia bahkan dalam kegiatan-kegiatan ekonomi kita pun ia tidak dapat diartikan sebagai asketisisme atau penafian terhadap tujuan-tujuan ekonomik.

If you want to change the economic system you must employ the human spirit in the process. Islam teaches that we human beings are God's khalifah --His vicegerent on earth. The stewards of his creation. For the Muslim the material world is not a place of punishment for some original sin, but the proving ground in which we demonstrate our submission to God (the Glorified and Exalted) by voluntary submission to His will, making out this morally neutral material world good things for ourselves, our families, our community, and all mankind. You cannot fulfill this charge without the liberty to choose good over evil of your own free will.[18]

Dalam pandangan hukum Islam harta kekayaan bahkan segala sesuatu adalah miliki mutlak Allah, manusia hanya diberikan sebatas merakayasanya dari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Keyakinan akan keesan Tuhan menghasilakan suatu keyakinan kesatuan dunia dan akhirat yang memotivasi perlaku usaha untuk bukan saja mengejar keuntungan materil, tetapi untuk keuntungan kekal dan abadi.

Menurut M. Quraish Shihab[19] prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomi untuk meyakini bahwa harta benda yang beada dalam gengaman tangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkan oleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yang dibutuhkan[20].

Nilai ketauhidan dalam berekonomi melahirkan rasa sportifitas, kejujuran dengan penuh amanah dan bertanggungjawab atas segala perbuatan hukum yang diperbuat. Oleh karena itu, hukum Islam memerintahkan kepada pelaku ekonomi untuk menghindari segala bentuk ekspoloitasi terhadap sesama manusia. Larngan perbuatan riba, penipuan dalam bertransasksi, bersepekulasi dalam menentukan harga barang sebagai bentuk dari perwujudan nilai-nilai ketauhidan.

2. Keadilan (’adl)

Hukum Islam bertujuan membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid. Dalam tatan itu, setiap individu diikat oleh persaudaraan dan kasih sayang bagi satu keluarga, suatu persaudaraan yang universal (ukhuwah)[21] yang tidak terikat dengan batas geografis[22].

Allah menciptakan bumi dan isinya dengan penuh keseimbangan, tidak ada suatu cipataan yang sia-sia. Tuhan tidak membedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara zalim[23]. Allah memerintahkan manusi untuk berbuat adil[24]. Manusia diperintahkan untuk berbuat adil, jangan dengan rasa kebincian terhadap sekolompok orang atau karena tidak suka atas sesorang sehingga tidak berlaku adil[25], sebarkanlah keadilan itu karena dia dekat dengan takwa.

Menurut Akhmad Mujahidin[26], Islam mendefiniskan adil sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi ekonomi dari nilai keadilan adalah pelaku ekonomi dibolehkan mengejar keuntungan pribadi, tetapi tidak dibolehkan merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan pemegang modal akan menzalimi pengusaha atau kriditur akan menzali dibitur, sehingga debitur tidak mempunyai pilihan lain kecuali anggunan yang dijadikan jamin menjadi milik dibitur.

Konsep adil dalam Islam tidak hanya didasarkan pada perbedaan kelas seperti yang dikemukakan oleh Plato, atau keadilan komutatif dan distrubutif yang dikekmukakan tidak oleh Aristoteles[27] juga bukan hanya berdasarkan keadilan sebagaimana konsep sosialis, atau kosep kapitalis, tetapi keadilan itu adalah menempatkan manusia berdasarkan kapasitas pola perilaku yang dianutnya[28]. Kemampuan manusia dalam memenuhi kehidupan ekonominya Allah dan Rasul-Nya memberikan rambu-rambu yang menjadi pedoman dalam melakukakan aktivitas ekonominya. Oleh karena itu bersifat adil dalam berekonomi adalah menghindari perbuatan tercela, berjiwa ikhsan dan meyakini bahwa setiap perbuatan yang memberikan manfaat[29] kepada orang lain mempunyai duble orienteata, yaitu keuntungan yang didapatkan di dunia dan keuntungan yang didapat di akhirat (fala).

Menurut Muhammadi Syafi’i Antonio[30] keadilan dalam Islam memiliki implikasi keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Pertama, keadilan sosial, bahwa Islam menempatkan manusia sebagai suatu keluarga. Karena semua manusia mempunyai derajat yang sama di hadapan Allah. Hukum Islam tidak membedakan yang kaya dengan yang miskin, dan tidak membedakan kulit putih dengan kulit hitam. Namun dari sudut sosial, nilaiyang membedakan satu dengan yang lain adalah ketakwaan, ketulusan hati, kemampuan dan pelayanannya pada kemanusiaan. Kedua, keadilan ekonomi, bahwa konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap setiap individu dalam masyarakat dan di hadapan hukum harus diimbangi dengan keadilan ekonomi. Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan konstribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu terbebas dari eksplotasi individu lainnya. Hukum Islam melarang orang muslim merugikan orang lain[31].

Dengan keadilan ekonomi, setiap individu akan mendapatkan haknya sesuai dengan konstribusi masing-masing kepada masyarakat. Setiap individu terbebas dari eksplotasi individu lainnya. Hukum Islam melarang orang muslim merugikan orang lain[32]. Juga, tidak dibenarkan setiap orang untuk melakukan kerusakan di muka bumi. Bumi dengan berbagai sumber daya yang dimilikinya menjadi sumber ekonomi. Setiap orang mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya yang tersedia dan menghindari eksplotasi yang merusak ekosistem. Dalam berekonomi, hukum Islam memberikan rambu-rambu sebagai pedoman. Peringatan perlakuan ketidakadilan dan eksplotasi bertujuan untuk melindungi hak-hak individu dalam masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan umum.

Semangat dan komitmen Islam terhadap persaudaraan dan keadilan sosial ekonomi berhadapan dengan kesenjangan pendapatan dan kekayaan alam yang ada dalam masyarakat, hukum Islam menekankan pada[33].

  1. menghapuskan monopoli, kecuali oleh pemerintah, untuk bidang-bidang tertentu.
  2. Menjamin hak dan kesempatan semua pihak untuk aktif dalam proses ekonomi, baik produksi, distribusi, serkulasi maupun konsumsi.
  3. Menjamin basic needs fulfillment (pemenuhan kebutuhan dasar hidup) setiap anggota masyarakat.
  4. Melaksanakan amanah at-takaaful al-ijtima’i atau social economic security insurace di mana yang mampu menanggung dan membantu yang tidak mampu.

Dengan penekenan semacam ini akan memberikan standar kehidupan setiap individu akan terjamin. Dari sisi manusiawi dan kehormatan setiap individu akan lebih terjaga sesuai dengan harkat dan martabat yang melekat pada manusia sebagai khalifah fi ardhi,

Hukum Islam menempatkan keadilan selain berdasarkan konsep rahman[34] juga berdasarkan konsep rahim[35] Keadilan berdasarkan konsep rahim menunjukkan bahwa keadialan itu ditegakkan berdasarkan kapasitas kewenangan yang diberikan kepada manusia (keadilan distributif). Konsep keadilan hukum Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta keadilan ekonomi menurut Muhammad Syafmi’i Antinio[36] bahwa setiap individu mendapatkan inbalan sesuai dengan amal dan karyanya. Ketidak samaan pendapatan dimungkinkan dalam Islam karena konstribusi masing-masing orang kepada masyarakat.

Hukum Islam memberikan kebebasan setiap individu untuk memiliki kekayaan melebihi individu yang lain sepanjang perolehan kekayaan itu sesuai dengan norma-norama hukum Islam dan yang bersangkuntan menunaikan kewajibannya untuk kesejahteraan masyarakat, baik dalam bentuk zakat, sadakah maupun infak.

Hukum Islam menempatkan kebebasan individu bersinggungan dengan kebebasan individu orang lain. Berhubungan dengan hak individu dalam kaitannya dengan masyarakat para sarjana muslim sepakat pada prinsip-perinsip berikut ini[37].

  1. Kepentingan masyarakat yang lebih luas harus didahulukan dari kepentingan individu.
  2. Melepas kesulitan harus diprioritaskan dibanding memberi manfaat, meskipun keduanya sama-sama merupakan tujuan syariah.
  3. Kerugian yang lebih besar tidak dapat diterima untuk menghilangkan yang lebih kecil. Manfaat yang lebih bersat tidak dikorbankan untuk manfaat yang lebih kecil. Sebaliknya, bahaya yang lebih kecil harus dapat diterima/diambil untuk menghindari bahaya yang lebih besar, sedaangkan manfaat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk mendapatkan manfaat yang lebih besar.

Jadi dalam hukum Islam kebebasan individu diakui selama tidak bertentangan dengan kepentingan sosial yang lebih besar atau sepanjang hak individu tidak melangkahi hak-hak orang lain.

Menurut Abul A'lâ Maudûdî[38] bahwa dalam pandangan Islam, individulah yang penting dan bukan komunitas, masyarakat atau bangsa. Dia berpendapat bahwa individu tidak dimaksudkan untuk melayani masyarakat, melainkan masyarakatlah yang benar-benar harus melayani individu. Tidak ada satu komunitas atau bangsa pun bertanggung jawab di depan Allah sebagai kelompok; setiap anggota masyarakat bertanggung jawab di depan-Nya secara individual. Alasan yang bebas dan tertinggi dari adanya sistem sosial adalah kesejahteraan dan kebahagiaan individu, bukan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat. Dari sinilah ukuran yang benar dari suatu sistem sosial yang baik adalah batas yang membantu para anggota masyarakat untuk mengembangkan keipribadian mereka dan meningkatkan kemampuan personal mereka[39].

3. Sifat-sifat Nabi (Nubuwwah)

Setiap Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah dengan satu tujuan, menyelamatkan manusia dari paganisme. Para Nabi dan rasul yang diutus untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan bahwa manusia akan kembali ke asal kejadiannya segala sesuatu yaitu Allah.[40] Fungsi Rasul adalah model taladan yang terbaik yang harus ditauladani manusia agar selamat di dunia dan di akhirat[41]. Nabi dan Rasul terakhir adalah Muhammad Swa, dengan sosok kesempurnaan kepribadiannya yang dipatrikan dalam Alqur’an Dia mempunyai akhlak yang mulia[42] para sahabat Nabi pernah bertanya kepada Aisya ra, (isteri Nabi Swa) tentang akhlak Nabi dijawab Alqur’an yang berjalan. Oleh karena itu, sifat-sifat utama Sang akhlak Qur’ani harus ditaladani[43] oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi dan bisnis pada khususnya. Sifatsifat Rasul adalah benar dan jujrur (shidiq), tanggungjab, dapat dipercaya, kridibilitas (amanah), cerdik, bijaksana, intelektualitas (fathanah) dan sifat berkomunikasi, keterbukaan, pemasaran (tabliq).

Aktifitas dalam untuk berekonomi kempat sifat tersebut sebagai dasar perilaku. Sifat jujur dan berlaku yang benar sebagai landasan sportifitas dalam melakukan aktifitas ekonomi, sifat amanah sebagai dasar bagi orang lain yang memberikan kepercayaan dalam melakukakan kegiatan bisnis, sifat fatanah (kecerdasan, kecerdikan, bijaksana dan intelektualitas) sebagai dasar dalam mengurus, mengatur dan mengelola harta kekayaan, dan sifat tabliq (berkomunikasi, keterbukanaa

4. Pemerintahan (khilafah)

Manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di bumi (QS. Al Baqarah: 30), ini berarti manusia menjadi pengusa atau pemimpin di bumi yang mempunyai hak untuk mengeksplorasi sumber daya alam dengan kewajiban menjaga keseimbangan agar jangan sampai terjadi kerusakan. Sebagai pimpinan akan dimitai pertanggung-jawabannya. Karena pada dasarnya setiap individu manusia adalah pimimpin. Setiap orang dari kamu adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya.[44]

Fungsi utama dari pemimpin adalah untuk menjaga keteraturan interaksi (muamalah) antara kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi. Mereka-mereka yang diberikan kepercayaan untuk menjadi pemimpin (pemerintah) di bumi, niscaya mereka menyuruh orang untuk berbuat baik dan mencegah dari perbuatan jahat[45]. Dalam bidang ekonomi fungsi pemerintah untuk mejaga keseimbangan perputaran pasar, baik yang terkait dengan kebijakan, maupun terkait dengan penyediaan fasilitas ekonomi. Selain itu, bumi, air, udara dan segalam kekayaan yang terkadung di dalamnya dikuasi oleh negara digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pemerintah berkewajiban mengeluarkan regulasi yang mendorong percepatan dan pencapai pertumbuhan ekonomi, dengan tidak menyanpingkan prinsip-prinsip keterbukaan, demokrasi dan nilai moralitas yang berpuncak pada nilai ilahiya sebagai pertanggungan jawaban pemerintah atas setiap kebikannya.

5. Kebangkitan (ma’ad)

Arti harifia dari am’ad adalah kembali, manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya[46]. Aktifitas manusia tidak berlangung sepanjang masa, dia dibatasi dengan ruang dan waktu. Kehidupan di dunia merupakan cerminan untuk kehidupan akhirat. Oleh karena itu, kewajiban seseorang untuk bangkit dari keterpurukan ekonomi merupakan kewajiban sosial (kifaya). Rasa solidritas antara sesama manusia dengan prinsip persaudaraan (ukhuwah) membangkitkan seseorang dari keterpurakan ekonominya[47].

Untuk bangkit dari keterpurakan ekonomi, bukankah Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya, agar menyampaikan kepada umat manusia, terutama umat Islam untuk bekerja. Nabi melarang kaumnya mengemis kecuali dalam keadaan kelaparan. Ibadah yang paling baik adalah bekerja, karena dia merupakan hak dan kewajiban[48]. Dalam sebuah riwayat Rasulullah pernah bersabda bahwa orang yang menyediakan makan dan keperluan-keperluan lain untuk diri dan keluarganya lebih baik daripada orang yang menghabiskan waktunya untuk beribadah yang tidak menghiraukan kebutuhan ekonomi untuk menghidupkan diri dan keluarganya. Bahkan pada kesempatan yang lain, Rasulullah saw menyatakan bahwa orang yang memberi sebagaian rezkinya kepada orang lain lebih baik dari orang yang selalu membuka tangannya untuk menerima pemberian orang lain[49]. Bahkan lebih ditegaskan bahwa Rasulullah mencintai orang kaya yang dermawan, tetapi beliau lebih mencitai orang miskin yang dermawan.[50]

Pemberian motifasi bagi setiap orang untuk berkreatif semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan sedapat mungkin merentangkan tangan untuk menyantuni orang lain yang memilki kekurangan atau keterbatasan sumber daya.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup prinsip fastabiqul khairat dan prinsip ta awanu bi al taqwa, harus menjadi motifasi dalam bekerja, dengan suatu tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, lebih fondemental lagi motivasi kerja untuk menghidupkan diri dan keluarga hanya semata untuk beribdah kepada Allah. Dari kelima nilai tersebut, menurut Akhmad Mujahidin[51] menjadi dasar untuk menyusun teori-teori ekonomi Islam.

  1. Ruang Lingkup Ekonomi Syariah

Salah satu dari kompetensi absolute beradsasarkan UU No. 3 Tahun 2006 perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agam adalah bidang ekonomi syariah. Berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf (i) yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalam perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut syariah meliputi bank syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, raksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syari.ah, pensiunan syariah dan bisnis syariah.

1. Bank Syariah

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi person, baik setiap orang peseorang, badan hukum maupun badan usaha tidak berbadan hukum (badan milik usaha swasta, dan badan usaha milik negara), bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiataksn perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank yang melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian[52].

Menurut G.M. Verryn yang dikutip oleh Hermansyah[53], bank adalah suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik dengan alat-alat pembayaran itu sendiri atau dengan uang yang diperolehnya dari orang lain, maupun dengan jalan mengedarkan alat-alat penukaran baru berupa uang giral.

Kegiatan lembaga keuangan perbankan sebagai pengumpul dana yang sangat berperan demi menunjang pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Sebagai lembaga keuangan perbankan mempunyai peranan penting dalam menghimpun dana dan mampu melancarkan gerak pembangunan dengan menyalurkan dananya ke berbagai proyek penting di berbagai sektor usaha yang dikelola oleh pemerintah. Demikian pula, lembaga keuangan ini menyediakan dana bagi pengusaha-pengusaha swasta, atau kalangan rakyat pengusaha lemah yang membutuhkan penyuntikan dana untuk kelangsungan usahanya.[54] Di samping itu, lembaga perbankan juga berfungsi sebagai pelayanan jasa bagi kelancaran lalu lintas dan peredaan uang baik nasional maupun antara negara.

Lembaga perbankan apabila dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam menurut Gemala Dewi[55] bukanlah dari segi fungsi lembaga tersebut melainkan dari konsep usaha serta teknik oprasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang digunakan.

Dalam ensiklopedia Islam disebutka bahwa bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasiannya disesuaikan dengan prisip-prinsip Syariat Islam. Sebutan lain bank Islam adalah bank syariah, secra akdemis istilah bank Islam dan bank syariah mempunyai pengertian yang berbeda, tetapi secara teknis mempunyai pengertian yang sama[56].

Berdasarkan konsep tersebut, berarti bank Islam atau bank syariah dalam oprasionalisasinya didasarkan pada tata cara bermuamalat secara Islam yang mengacu kepada ketentuan-ketentua Alqur’an dan Sunnah Rasulullah[57]. Menurut Abdul Wahab Khalaf[58] muamalat adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur interaksi sosial baik pribadi maupun antara perorangan dengan masyarakat. Muamalat menurut Moh. Anwar[59], meliputi bidang kegiatan jual beli (bai’a), bunga (riba), piutang (qarah), gadai (rahn), memindahkan utang (hawalah), bagi untung dalam perdagangan (qira’ah), persekutuan (syirkah), persewaan dan perburuhan (ijarah)

Dengan demikian, yang dimaksud dengan bank syariah adalah bank yang dalam konsep dasar oprasionalnya berdasarkan prinsi-prinsip ekonomi syariah, yang meliputi[60]:

a. Simpanan murni (al wadiah)

Simpanan murni (al wadiah) yaitu fasilitas yang diberikan oleh bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang berkelebihan dana untuk menyimpan dananya di bank, bukan untuk tujuan invetasi, tetapi untuk keamanan dan pemindahan. Berarti dana titipan (wadi’ah) merupakan dana dari pihak ketiga yang mengamanahkan kepada pihak bank sebagai titipan dengan maksud terjaga keamanannya dan sewaktu-waktu dapat ditarik[61].

Di dalam UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah pada penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa wadi’ah adalah penetipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan de ngan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan barang atau uang.

b. Sistem Bagi Hasil

Para teoritikus perbankan syariah mendambakan aktivitas investasi dalam dalam bank syariah didasarkan pada dua konsep yang legal, yaitu mudharabah dan musyarakah[62] sebagai alternatif dalam menerapkan bagi hasil (profit and loss sharing). Berdasarkan teori ini, bank syariah akan memberikan sumber pembiayaan (finansial) yang luas kepada peminjam (debitur) didasarkan atas bagi resiko, yang berbeda dengan pembiayaan (finansial) sistem bunga pada bank konvesional yang semua resikonya ditanggung oleh debitur[63]. .

Sistem bagi hasil tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan bagi hasil. Hasil Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. [64]

Prinsip bagi hasil didasarkan pada konsep mudharabah, musyarakah, muzara’ah dan musaqah, yaitu suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana, yang terjadi antara bank dengan penyimpan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana

Mudharabah

Konsep mudharabah[65] dalam kitab-kitab fikih merupakan kontrak yang melibatkan dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktivitas perdagangan[66]. Konkritnya yaitu kerja sama antara pemilik dana (shahibul maal) dan pengelola dana (mudharib) yaitu, bank[67]. Ini berarti mudharabah memberi konstribusi pekerjaan, waktu dan pengelola usahanya sesuai dengan ketentuan yang dicapai dalam kontrak, salah satunya adalah untuk mencapai keuntungan (profit) yang dibagi antra pihak investor dan pihak bank berdasarkan proporsi yang telah disetujui bersama. Namun, apabila terjadi resiko yang menanggung adalah pihak investor[68].

Sistem mudharabah dibagi menjadi dua jenis yaitu mudharabah muthlak (general invesment) dan mudharabah muqayyad[69].

1) Mudharabah muthlak merupakan perikatan yang oleh investor (shahibul maal) tidak memberikan datline waktu atas dana yang diinvestasikan. Pihak pengelola diberikan kewenangan penuh untuk mengelola dana tersebut tanpa terikat waktu dan tempat, jenis usaha, dan jenis pelayanannya. Realisasi bank yang sesuai dengan perikatan ini adalah time deposit biasa[70]. Bentuk perikatan seperti ini dalam bank syariah investor bukan lender atau creditur seperti bank konvensioanl, tetapi investor murni. Dengan demikian, bank memiliki dua fungsi, yaitu fungsi penabung bank bertindak sebagai pengelola, dan kepada dunia usaha bank bertindak sebagai pimilik modal[71]. Sedangkan dunia usaha sebagai pengguna dan pengelolaan modal, hasil dari keuntungan tersebut dibagi dengan pemilik modal (bank).

2) Mudharabah muqayyad merupakan suatu perikatan yang oleh investor memberikan batasan-batasan atas modal yang diinvestasikannya. Bank hanya bisa mengelola modal tersebut sesuai batasan yang diberikan oleh investor. Misalnya, jenis usaha tertentu, waktu tertentu dan tempat tertentu. Ini berarti sistem mudharabah muqayyad pihak pengelola modal (bank) terikat dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh investor (shahabu maal)[72].

Musyarakah (Pesekutuan)

Musyarakah merupakan sebuah perikatan antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha dimana masing-masing pihak memberi konstribusi modal atau jasa dengan konsensus bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama[73]. Dalam khazanah ilmu fikih, musyarakah (pesekutuan) melingkupi jenis-jenis prikatan yang sangat luas. Secara garis besar dikelompokan atas empat jenis, persekutuan keuangan (syarikah amwal), persekutuan oprasional (syarikah a’mal), pesekutuan good will (syarikah wujuh) dan persekutuan bagi hasil (syarikah mudharabah)[74].

Dalam konteks syarikah mudharabah, bank-bank syariah berbeda dalam menjalankan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) dari proyek usaha yang berdasarkan kontrak musyarakah. Prinsip bagi hasil tergantung pada peran patner dalam mengelola proyek usaha musyarakah. Konstribusi modal dari pihak patner dan bank. Aplikasi dari pembiayaan musyarakah untuk tujuan perdagangan, setiap bank sayariah bervariasi. International Islamic Bank for Investment and Depvelopment (IIBID) menawarkan pembgian hasil dengan prinsip muasyarakah sebagai berikut: (1) menentukan tingkat presentasi patner berdasarkan usaha-usahanya dalam pembelian, penjualan, penyimpanan daseluruh tangguhan, (2) menetukan prensetasi bagi bank berdasarkan pengawasan dan manejamennya terhadap proyek musayrakah, (3) menentukan tingkat peresntasi keutungan yang akan diterima kedua belah pihak berdasarkan ratio perbandingan kontribusi modal yang disertakan dalam kontrak musyarakah[75]..

Jordan Islamic Bank (JID) dalam membagi tingkat perensetasi keuntungan, tidak mempertimbangkan bagian persentasi dari segi manejemen. Tetapi menentukan berdasarkan keuntungan bersih dan akan dibagikan antara bank dan patner berdasarkan persetujuan bersama dalam kontrak musyarakah. Mesir Bank menentukan tingkat peresntasi keuntungan berdasarkan pertimbangan, keuntungan yang diterima bank berdasarkan perlayanannya, sedangkan keuntungan yang diterima patner didasarkan pada pemasaran barang-barang dan manejemennya. Tentang saldo usaha akan dialokasikan kepada bank dan patner.). Faisal Islamic Bank of Egypt (FIBE), dalam pendistribusian keuntungan dengan konsep bahwa keuntungan merupakan hasil bersih usaha setelah dikurangai biaya oprasional, patner mendapat keuntungan berdasarkan atas pekerjaan dan usahanya. Saldo usaha didistribusikan kepada bank dan patner, dan dalam hal kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak berdasarkan perbandingan modal yang diinvestasikan dalam usaha musyarakah[76].

Bank Muamalat Indonesia tidak mengenal sistem peresentasi keuntungan, tetapi menggunakan sistem pembagian pendapatan hasil usaha. Yaitu seluruh pembiyaan bersumber dari dana pihak ketiga, seluruh pendapatan akan dikalikan untuk perhitungan bagi hasil

c. Sistem Jual Beli dan Marjin Keuntungan

Sistem ini didasarkan pada konsep murabahah dan al-bai’u bithaman ajil adalah suatu sistem yang menerapkan sistem jual beli, yaitu pihak bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang-barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga beli ditambah keuntungan (margin/mark up).

d. Sistem Sewa (al Ijarah dan al ta’jiri)

Kata ijarah dapat diartikan dengan sewa menyewa dapat juga diartikan dengan upah mengupah[77]. Secara oprasional arti sewa berbeda dengan upah, sewa biasanya digunakan untuk benda, seperti sewa rumah, sedangkan upah digunakan untuk tenaga, seperti tenaga kerja yang diberikan gaji baik dalam bentuk harian, mingguan atau bulanan.

Dari sudut terminologi di kalangan ahli hukum Islam (ulama fikih) berbeda dalam memaknai ijrah. Ahli hukum Islam dari golongan Abu Hanafi berpandangan bahwa al ijra adalah suatu perikatan yang diperbolehkan untuk pemilikan manfaat dari barang yang disewakan dengan imbalan.[78] Dari kalangan Malikiyah al ijra dipahami sebagai sebuah ikatan perjanjian yang diperuntukan kemanfaatannya yang bersifat manusiawi dan dapat dipindahkan sebagiannya.[79] Sedangkan di kalangan ahli hukum Islam kontenprorer ada yang memaknai al ijra dengan ikatan perjanjian pengambilan manfat dengan suatu imbalan.

Sistem ini terbagi atas dua jenis[80]. Pertama, al ijara yaitu perjanjian sewa yang diberikan kepada penyewa untuk memanfaatkan barang yang disewakan dengan inbalan uang sewa dengan persetujuan, dan setelah jatuh tempo masa sewa, barang akan dikembalikan kepada pemilik. Kedua, al ta’jiri yaitu perjanjian sewa yang diberikan kepada penyewa untuk memanfatkan barang yang disewa dengan inbalan uang sewa dengan persetujua, dan setelah jatuh tempo masa sewa, pemilik barang menjual barang yang disewa kepada penyewa dengan harga yang disepakati.

e. Sistem fee (jasa)

Sistem jasa adalah kegiatan yang meliputi layanan non pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk jasa yang berdasarkan konsep dasar ini meliputi bank gransi, kliring, inkaso, jasa transfer dan lain-lain[81]

Kelima prinsip konsep dasar tersebut dioprasional oleh bank syariah dalam bentuk[82] (1) penghimpunan dana, yang meliputi giro wadiah, tabungan mudharabah, deposito investasi mudharabah, tabungan haji mudharabah, dan tabungan qurban. Kegiatan oprasional bank syariah di dalam bidang penghimpunan dana masyarakat dengan menggunakan sistem bagi hasil, khusus simpanan mudharabah dan deposito mudharabah. (2) penyaluran dana kepada masyarakat meliputi pembiayaan al mudharabah, pembiayaan musyarakat, pembiayaan murabahah, pembiayaan al bai’u bithaman ajil, pembiayaan al qardhul hasan, dan pembiayaan al ijarah dan al bai’u al ta’jiri

2. Lembaga Keuangan Mikro Syariah

Yaitu lembaga keuangan yang dibentuk dan diperuntukkan untuk menyentuh langsung kepentingan masyarakat bawa. Seperti BMT, funtura dan lain-lain yang dalam oprasinalnya menjalankan prinsip-prinsip syariah.

3. Asuransi Syariah

Pada awal perkembangan Islam tidak dikenal lembaga asuransi, akibatnya banyak literaur yang membahas hukum Islam menyimpuklkan bahwa asuransi tidak dipandang sebagai yang halal.[83] Walaupun awal perkembangan Islam tidak dikenal lembaga asuransi, tetapi beberapa aktivitas di masa awal Islam mengarah pada prinsip-prinsip asuransi. Seperti sistem aqilah[84] yang dipraktekan oleh kaum Muhajirin dan Asnhar terutama untuk menolong keluarga yang terbunuh dengan tidak sengaja.

Kata asuransi dalam kontek bahasa Arab yang ditemukan dalam beberapa letaratur fikih terdapat istilah yang berbeda, setidaknya ada tiga kata yang dijadikan sebagai dasar untuk asuransi syariah yaitu, al-ta’min, al-aqilah dan takaful.

Asuransi syariah merupakan satu langkah alternative untuk menlindungi diri dan keluarganya dari keterburukan kehidupan ekonomi[85]. Menurut Jubran Ma’ud dalam Muhammad Syakir Sula[86] asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana seseorang mencicilkan sebagian uangnya kepada pihak asuransi dengan tujuan agar ahli warisnya dikemudian hari mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti rugi terhadap hartanya yang hilang. Muhammad Syauqi al Fanjari[87] memaknai asuransi dengan saling menanggung atau tanggung jawab sosial. Menurut Husain Hamid Hisan[88] asuransi syariah merupakan suatu perbuatan kebajikan sebagai sikap antisipatif terhadap terjadinya suatu peristiwa atau musibah melanda sesorang atas sekolompok orang, wujud dari kebajikan tersebut adalah saling membantu untuk meringankan pernderitaan.

Muhammad Syakir Sula[89] mengalborasi berbagai pendat tersebut dengan mengutip dari Husain Hamid Hisan bahwa para ulama hukum (syariah) adalah sebuah sistem ta’awun dan tadhamun diperuntukan untuk menutupi kerugian yang terkena musibah. Pergantian kerugian tersebut diambil dari kumpulan premi-premi nasabah. Menurut ahli hukum Islam dalam penetapan semua hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakat hidup berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban[90].

Dengan demikian, asuransi dilihat dari segi teoritis dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara-cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekkan teorinya, sangat relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah, sebgaimana dianjurkan oleh nash-nash yang bersifat juz’i. Dikatakan demikian, menurut Muhammad Syakir Sula[91], karenam asuransi adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapih, antara sejumlah manusia. Tujuannya untuk menghilangkan atau meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpa sebagian mereka. Asuransi dalam makna ini tidak ada perbedaan di kalangan ahli hukum Islam. Tetapi perbedaan terjadi karena dilihat dari akad-akad (perjanjian) asuransi yang dilangsungkan oleh para tertanggung dengan pihak perseroan asuransi[92]

Aurasni syariah bersifat saling melindungi dan tolong-menolong yang disebut dengan ta’awun. Yaitu prinsip hidup saling melindungi dan tolong-menolong atas dasar ukhuwah islamiah antara anggota sesama asuransi syariah dalam menghadapi resiko[93].

Ahli hukum Islam sepakat bahwa asuransi dilihat dari teori dan sistemya dibenarkan, tetapi dilihat dari sarana untuk melaksanakan sistem dan menerapkan teori asuransi terdapat perbedaan. Sehubungan dengan itu, ahli hukum Islam berbeda pandangan dalam memberikan legalitas yuridis atas oprasionalisasi lembaga asuransi, terutama menyangkut akad-akad telah disepakati dan menjadi dasar bagi penangung dengan pihak perseroan asuransi.

Dari berbagai literatur fikih ditemukan berbagai perbedaan pandangan, namun dari berbagai pandangan itu, dapat digolongan atas empat kelompok.

Pertama, kelompok ulama yang melihat asuransi berdasarkan prinsip asuransi konvensional yang sifatnya mengandung 1) unsur perjudian, 2) unsur tidak kepastian, 3) unsur riba, 4) unsur eksplotasi dan bersifat menekan, 5) jual beli atau tukar menukar mata uang tidak secara tunai (akad sharft) dan 6) objeknya diperuntuk hidup matinya seseorang, yang berarti mendahului takdir Tuhan dengan alasan tersebut mereka mengharamkan lembaga asuransi[94].

Kedua, kelompok ulama yang menghalalkan asuransi, dengan dasar bahwa 1) tidak ada dasar, baik dari Alqur’an maupun hadis yang melarang asuransi, 2) terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pihak, 3) kemaslahatannya lebih besar dari mudharatnya, 4) akad mudharat-nya roboh atas dasar profit and loss sharing dan 5) asuransi dimasukkan dalam katagori koperasi (Syirkah Ta’awuniyah) yang diperbolehkan dalam Islam.[95]

Ketiga, kelompok ulam yang membolehkan asuransi yang bersifat sosial dengan alasan bahawa asuransi sosial tidak mengandung unsur-unsur yanga dilarang dalam Islam, dan tidak membolehkan asuransi yang bersifat komersial dengan alasan asuransi komersial mengandung unsur-unsur yang dilarang dalam Isalam[96].

Keempat, kelompok ulama yang tidak mengharamkan dan tidak membolehkan (subhat) dengan alasan bahwa tidak ada dalil syar’i yang jelas mengharamkan atau menghalalkan asuransi, oleh karena itu harus berhati-hati dalam berhubungan dengan asuransi.

Terlepas dari kempat pendapat itu, asuransi merupakah satu kebutuhan hidup bagi manusia untuk jaminan masa depan, oleh karena itu keberadaan asuransin syariah merupakan suatu kebutuhan umat Islam dan dalam oprasionalnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah seperti kontraknya berdasarkan prinsip ta’awun (tolong menolong) menghindari unsur ketidak pastian, setiap nasabah berhak untuk mendapatkan cashvalut dan mendapatkan semua uang yang dibayarkan, kecuali yang sudah masuk dalam bentuk derma, asuransi syariah tidak terdapat usaha dan investasi dengan penerapan sistem bunga.

Bidang-bidang yang termasuk dalam kegiatan oprasional asuransi syariah adalah 1) asuransi keluarga (asuransi jiwa) yang meliputi, asuransi berencana, asuransi pembiyaan, asuransi pendidikan, asuransi dan haji, asuransi berjangka dan asuransi kesehatan. 2) asuransi umum yang melidputi asuransi kebakaran, asuransi kenderaan bermotor, asuransi pengangkutan, asuransi rekayasa dan asuransi aneka.

Dari kedua jenis asuransi tersebut dalam teknik pengelolaannya berdasarkan prinsip-prinsip syariah dan keuntungan yang didapatkan oleh asuranasi dari hasil pengelolaan dana yang terhimpun dapat dibagi berdasarkan prinsip mudharabah.

4. Reksadana Syariah

Raksa dana sebagai salah satu bentuk investasi kolektif (collective invesmant), yang memungkinkan bagi investor yang memiliki investasi yang sama atau sejenis untuk mengumpulkan dananya, agar dapat diinvestasikan dalam bentuk protofilio [97] yang dikelola oleh manejer investasi

Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal Indonesia, raksa dana diartikan sebagai suatu wadah yang dipergunakkan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh Manajer Investasi.

Sedangkan Reksa dana syariah menurut Ossman Nassar[98] merupakan intermediaries yang membantu surplus unit melakukan penempatan dana yang diinvestasikan dengan tujuan memenuhi kebutuhan kelompok investor yang menginginkan memperoleh pendapatan dari sumber dan cara yang bersih yang dapat dipertanggungjawabkan secara religius, yang memang sejalan dengan prinsip syariah. Raksa dana syariah tidak akan menginvestasikan dananya pada obligasi dari perusahaan yang pengelolaan atau produknya bertentangan dengan syariah Islam. Seperti pada perusahaan roko, menimunan beralkohol, industri perternakan babi, lembaga keuangan yang menggunakan sistem riba.

5. Obligasi Syariah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syariah

a. Obligasi Syariah

Di dalam Kamus Besar Bahsa Indonesia disebutkan bahwa oblagasi merupakan sebuah instrumen[99] berupa surat pinjaman dengan ketentuan bunga yang dikeluarkan oleh pemerintah yang dapat diperjualbelikan. Dapat juga berupa utang berjangka (waktu) lebih dari dua tahun dan bersuku bunga tertentu yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menarik dana dari masyarakat guna menutup pembiayaan perusahaan.

Obligasi adalah[100] suatu istilah yang dipergunakan dalam dunia keuangan yang merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada saat tanggal jatuh tempo pembayaran. Ketentuan lain dapat juga dicantumkan dalam obligasi tersebut seperti misalnya identitas pemegang obligasi, pembatasan-pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit. Obligasi pada umumnya diterbitkan untuk suatu jangka waktu tetap diatas 10 tahun. Misalnya saja pada Obligasi pemerintah Amerika yang disebut "U.S. Treasury securities" diterbitkan untuk masa jatuh tempo 10 tahun atau lebih. Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun disebut "surat utang" dan utang dibawah 1 tahun disebut "Surat Perbendaharaan. Di Indonesia, Surat utang berjangka waktu 1 hingga 10 tahun yang diterbitkan oleh pemerintah disebut Surat Utang Negara (SUN) dan utang dibawah 1 tahun yang diterbitkan pemerintah disebut Surat Perbendaharan Negara (SPN).

Obligasi Syariah (Islamic Bond) merupakan instrument pasar modal jenis baru yang sesuai syariah. Obligasi syariah tidak menggunakan bunga sebagai keuntungan. Tetapi menawarkan keuntungan yang tidak dipastikan berapa persentasi pembagian keuntungan. Pendapatan yang diperoleh investor tergantung pada prinsip yang digunakan, baik digunakan prinsip mudharabah maupun prinsip musyarakah dengan skema bagi hasil.

b. Surat berharga berjangka syariah

Berdasarkan UU No. 3 Tahun 2004 jo. UU No. 23 Tahun 1999 jo. UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan bahwa jenis usaha kegiatan perbankan beraneka ragam, bank tidak menfokuskan pembiyaannya hanya pada bunga kredit semata, untuk itu bank mengembangkan dalam bentuk usaha lain berupa penerbitan dan perdagangan surat berharga komersial (commercial paper), keterlibatan bank dalam jenis usaha tersebut meningkatkan pendapatan sejumlah imbalan tertentu dari penrbitan surat berharga tersebut.[101] Surat berharga merupakan salah satu instrumen yang diperdagangkan di pasar uang. Surat berharga syariah merupakan sebuah intrumen yang dapat digunakan untuk membiayai Anggaran Pendapat dan Belanja Negara termasuk membiayai pembangunan proyek.

Perkembangan pesat ekonomi syariah di Indonesia sangat dibutuhkan payung hukum yang menjadi dasar bagi pelaku ekonomi. Surat berharga syariah merupakan salah satu iknstrumen keungan syariah sebagai bagian dari sistem ekonomi syariah telah menjadi bagian dari sistem ekonomi nasional. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) menempatkan surat berharga syariah sebagai lata pembiayaan negara.

Sesuai dengan UU SBSN pernerbitan SBSN dalam bentuk warkat atau tanpa warkat yang dapat diperdagangkan atau tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder. Didalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU SBSN dijelaskan bahwa SBSN dengan warkat adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah yang kepemilikannya berupa sertifikat baik atas nama maupun atas tunjuk. Sertikat atas nama adalah sertifikat yang nama pemiliknya tercantum, sedangkan sertifikat atas tunjuk adalah sertifikat yang tidak mencantumkan nama pemilik sehingga setiap orang yang menguasainya adalah pemilik yang sah. SBSN tanpa warkat adalah surat berharga berdasarkan prinsi p syariah yang kepemilikannya dicatat secara elektronik (book antry system) akad ijarah.

6. Pembiayaan Syariah

Dalam dunia bisnis lembaga pembiayaan tidak populer seperti lembaga keuangan dan perbankan. Dari sudut eksistensinya lembaga pembiayaan masih relatif mudah bila dibandingkan dengan lembaga keuangan dan perbankan konvensional[102]. Dari sudut oprasionalnya, lembaga pembiayaan merupakan lembaga keuangan seperti halnya lembaga perbankan. Namun, dari sudut padanan istilah lembaga pembiayaan berbeda dengan lembaga keuangan. Lembaga pembiyaan sepadan dengan istilah financing institution, fukus kegiatannya ditekankan pada fungsi pembiayaan, yaitu dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat[103]. Dalam Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pmbiayaan dan Keputusan Menteri Keuangan (Kepmenkeu) Nomor 1251/KMK.03/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pembiayaan dikatakan bahwa lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.

Bertolak dari pengertian tersebut, maka unsur-unsur yang terdapat dalam lembaga pembiayaan adalah[104].

  1. Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
  2. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan pekerjaan atau aktivitas dengan cara membiayai pada pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkannya.
  3. Penyediaan dana, yaitu perbuatan penyediaan uang a untuk suatu keperluan.
  4. Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu atau barang lain, seperti mesin-mesin, peralatan pabrik, dan sebagainya.
  5. Tidak menarik dana secara langsung (non deposit taking) artinya tidak mengambil uang secara langsung baik dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup bayar kecuali hanya untuk dipakai sebagai jaminan utang kepada bank yang menjadi kreditornya.
  6. Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat, yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama.

Lembaga pembiayaan merupakan salah satu bentuk usaha di bidanga lembaga keuangan bukan bank yang mempunyai peranan sangat penting dalam pebiayaan. Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk dana atau barang modal dengan tidak menarik secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito, tabungan, dan surat sanggup bayar.[105] Lembaga pembiayaan mempunyai peranan yang sangat penting dan merupakan salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif untuk menunjang pengembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

Lembaga pembiayaan sayariah mempunyai ruang lingkup kajian yang sama dengan pembiayaan konvensional, namun berbeda dalam perikatan. Lembaga pembiayaan syariah sistem perikatan harus berdasarkan instrumen syariah.[106] Seperti perikatan dalam bentuk mudharabah, dan murabaha

7. Penggadaian syariah (Rahan)

Gadai dalam hukum Islam dikenal dengan istilah ar- rahan yaitu suatu bentuk perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan utang[107]. Menurut Warkum Sumitro[108] gadai (rahan) merupakan sebuah sistem utang dilakukan dengan menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta sebagai jaminan, dimana pihak kreditur dapat mengambil piutang atau sebagian manfaat dari barang itu.

Ahli hukum Islam dari kalangan Hambaliyah[109] berpandangan bahwa rahan adalah suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang , untuk dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. Pendapat yang senada juga dikemukakan oleh ahli hukum Islam dari kalangan Maliki[110] mengemukakan bahwa rahan adalah sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat).

Menurut Ahmad Azahar Basyir[111] rahan adalah perjanjian menahan sessuatu barang sebagai tanggungan utang, atau menjadikan sesuatu benda bernilai menurut pandangan syara sebagai tanggungan marhum bih, sehingga dengan adanya tanggungan utang itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.

Bertolak dari pandangan yang dikemukakan ahli hukum tersebut, menurut Zainuddin Ali[112] gadai (rahan) adalah menahan barang jaminan yang bersifat meteri milik si peminjam (rahin) sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (mutahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, apabila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.

Berdasarkan pandangan dari ahli hukum Islam tersebut, menunjukkan bahwa gadai (rahan) itu adalah bentuk perjanjian yang disertai dengan barang sebagai jaminan atau tanggungan apabila sampai batas waktu si berutang tidak melunasi seluruh atau sebagian utangnya, maka pemberi utang dapat mengambil barang jaminan itu. Pemberian utang dengan dasar barang sebagai jaminan itu harus memiliki nilai ekonomis[113].

Pada dasarnya gadai itu merupakan salah satu bagian akad tabarru (kebajikan). Dia tidak dapat dihadapkan dengan barang yang lain. Akad gadai tidak sama dengan perjanjian jual beli yang merupakan akad mu’awadah (pertukaran), antara penjual dan pembeli yang melakukan pertukaran harta dengan barang atau barang dengan barang[114]. Akad tabarru mempunyai ikatan hukum tetap apbila barang yang dijadikan jaminan itu telah diserahkan kepada pihak yang memberikan pinjaman.

Dasar rahan Alqur’an Suarat al-Baqarah ayat 283.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi Swa, memberikan baju besinya kepada seoang Yahudi menjadi jaminan utang.

E. Perikatan Ekonomi Syariah (al ’uqud iqtishadiyah al syar’iyah)

Perikatan dalam bahasa Arab disebut aqad yang merupakan suatu pernyataan yang dibuat oleh seseorang atau sekelompok orang atas kehendaknya dan syara’(hukum) menetapkan beberapa hak. [115] Dalam Alqur’an sekurang-kurangnya didapatkan dua istilah yang berhubungan dengan perikatan yaitu al ’aqdu dan al ’ahdu. Kedua istilah tersebut diartikan dengan ikatan. Disebut ikatan dimaksudkan[116] adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatnya salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali.

Dari segi etemologi salah satu dari arti aqad adalah[117] ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupunb dari dua segi. Para ahli hukum Islam Malikiiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah berpandangan bahwa aqad mengandung arti segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan kepentingan sendiri atau sesuatu yang pembentukannya membuntuhkan keinginan dua orang atau sekelompok orang.[118]

Faturrahman Djamil[119] menyamakan istilah al’aqadu dengan verbintenis dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al’ahdu disamakan dengan perjanjian atau overeemkomst adalah suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan seuatu yang berkaitan dengan orang lain. Di kalangan jumhur ulama (ahli hukum Islam) memberikan pengertian al’aqad sebagai pertalian ijab (meminta) dan kabul (menerima) yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.[120]

Konsep aqad mengandung makna ”perikatan”[121] yaitu suatu perbuatan yang disengaja dibuat oleh dua orang atau lebih berdasarkan keridaan masing-masing. Ahmadi Miru[122] melihat perikatan bersifat umum dari kontrak atau perjanijan. Ahmadi Miru tidak membedakan hukum kontrak dengan hukum perjanjan, karena pembedaan hukum kontrak dan hukum perjanjian tidak dikenal dalam BW. Sedangkan dalam BW hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir undang-undang.[123]

Menurut Azis Budianto[124] perikatan lahir dari suatu perjanjian, karena perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepadaa orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul perikatan.

Dari beberapa pengertian perikatan dari kalangan ahli hukum terebut terdapat tiga unsur yang terdapat dalam sebuah perikatan yaitu pihak yang menyatakan perjanjian dan yang menerima perjanjian itu (ijab dan qabul), isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan syara,[125] dan mempunyai akibat hukum terhadap objeknya. Menurut Abdorraoef[126] terjadinya suatu perikatan meliputi tiga hal yaitu pernyataan perjanjian, persetujuan perjanjian dan pelaksanaan perjanjian.

Suatu perjanjian dipandang sah apabila terpenuhi unsur rukun dan syarat.[127] Rukun adalah suatu unsur yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.[128] Sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung pada keberadaan hukum syar’i dan berada di luar hukum, dan ketiadaannya menyebabakan hukum tidak ada.[129] Menurut ahli Ushul Fiqh rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia termasuk dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantungnya keberadaan hukum, tetapi berada di luar hukum itu sendiri.[130]

Unsur yang termasuk dalam rukun perikatan ada tiga, walaupun dari ketiga unsur tersebut masih terdapat perbedaan di kalangan ahli hukum Islam terutama di kalangan golongan Hanafiyah hanya ijab dan qabul (sighat al’aqad) termsuk rukun, mereka memasukkan al’aqidain (subyek perikatan) dan muhallul ’aqad (obyek perikatan) sebagai syarat dangan alasan kedua unsur tersebut bukan bagian dari perbuatan hukum. Sedangkan di kalangan ahli hukum Islam Syafi’iyah dan Malikiyah subyek perikatan dan obyek perikatan termasuk rukun bersamaan dengan sighat al’aqad dengan alasan kedua unsur tersebut merupakan salah satu tiang utama dalam tegaknya perikatan.[131]

Menurut Ahmadi Miru[132] kontrak atau perjanjian itu lahir pada saat terciptanya kesepakatan para pihak mengenai hal yang pokok atau unsur-unsur esensial dari kontrak tersebut. Walaupun demikian masih terdapat unsur lain yang menyangkut syarat sahnya sebuah kontrak, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:

  1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
  3. Suatu hal tertentu; dan
  4. Suatu sebab yang halal[133]



[1] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 13

[2] Aturan yang bersifat konstektual membutuhkan interpretasi (ijtihad) , ibid.

[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 28

[4] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Akad Dalam Fikih Mumalat), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 63

[5] Ibid.

[6] Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifa (pengua) di bumi, Qur’an Surat (2) Al Baqarah ayat 29

[7] M.A. Sabzwari, The Concepts of Seving in Islam, An NIT Publication, Kerachi, 1982, hal. 1

[8] Qur’an Surah

[9] Qur’an Surah (91) al Syamsi ayat 7

[10]Ali Abd al-Rasul, al Mabadi al Iqtisadoiyah fi al Islam,Dar al Fikr Aabi, Mesir, 1980 hal.61-78

[11] Menurut M.Quraish Shihab nilai-nilai Islam itu terangkung dalam empat prinsip pokok; tauhid, kesimbangan, kehendak bebas dan tanggung jawab. M. Quraish Shihab, Wawasan Alqur’an, Mizan, Jakarta, 1996, hal. 409

[12] QS. Ar Raad ayat 36 dan Lukman, ayat 32

[13] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek. Gema Insani Press, Jakarta 2001, hal. 17

[14] QS. Sajadah ayat 4

[15] QS. Al Syamsi ayat 7-8

[16] QS. Al Baqarah ayat 31

[17] Kebebasan Ekonomik, http://www.cybermq.com/index.php tgl. 28 Juli 2008

[18]Imad-ad-Dean Ahmad, Ph.D. Islam, Market Economy and the Rule of Law, http://www.islamfortoday.com. Tgl. 24-11-2008

[19] M. Quraish Shihab, opcit., hal. 410

[20] Dan berikanlah kepada mereka harta yang diberikan-Nya kepada kamu, QS. Al Nur, ayat 33

[21] Konsep ukhuwah terbagai kepada1) persaudaran berdasarkan batas geografis dengan unsur adanya masyarakat, pemerintah dan daerah tertorial (wilayah) dan diakui oleh lembaga atau negara lain, 2) persaudaraan karena nilai-nilai universal kemanusiaan, pesaudaraan dalam bentuk ini tidak terikat dengan batas geografis. (QS. Al Hujrat ayat 13)

[22]Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hal. 13

[23] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 15

[24] QS.Hujrat ayat 9

[25] QS. Al Maidah ayat 8

[26] Akhmad Mujahidin, loc.cit.

[27] Shidarta. Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Pikir. Aditama, Bandung 2006, hal. 81

[28] Allah tidak membebankan hambaNya sesuai dengan batas kemampuannya. (Q.S. 2 Al Baqarah ayat 286

[29]Orang-orang dalam situasi awal akan memilih dua prinsip yang agak berbeda: yang pertama membutuhkan kesetaraan dalam penerapan hak dan kewajiban dasar, sedangkan yang kedua menyatakan kepentingan sosial dan ekonomi, misalnya kepentingan kekayaan dan kekuasaan hanyalah jika mereka menghasilkan konpensasi keuntungan bagi semua orang, khususnya bagi anggota masyarakat yang tidak beruntung. John Rowls. A Theory of Justice.diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo dengan judul Teori Keadilan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hal. 16

[30] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit. hal. 14

[31] QS. Asy-Syuaraa ayat 183

[32] QS. Asy-Syuaraa ayat 183

[33] Muhammad Syafi’i Antonio., op.cit., hal. 15

[34] Bahwa Allah memberikan rahmat kepada makhluk ciptaan-Nya tanpa membedakan tingkat strata, jenis dan membedakan makhluk yang satu dengan yang lainnya. Bahkan antara satu makhluk dengan makhluk lain memiliki saling memberikan manfaat. Abdullah Sani, Hakim dan Keadilan Hukum, Bulan Bintang, Jakarta,

[35] Allah memberikan rahmat kepada setiap makhluk berdasarkan batas kemampuannya. Ibid.

[36] Muhammad Syafi’i Antonio., op.cit., hal.16

[37]Ibid. hal. 17

[38] Kebebasan Ekonomik, http://www.cybermq.com/index.php tgl. 28 Juli 2008

[39] Al-Maududi hanya melihat dari sudut kewajiban masyarkat terhadap keamanan dan kesejahteraan individu, pada hal dalam Islam memberikan porsi yang lebih besar bagi individu untuk melakukakan kewajiban sosial atau tanggung jawab sosialnya terhadap kepentingan masyarakat, Allah memwajibkan hartawan untuk menunaikan zakat hartanya untuk kepentingan negara. Demikian juga dalam Hadis Nabi Muhammad saw dikatakan bahwa apabila seseorang melihat suatu kemunkaran atau kezaliman maka dia harus mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika tidak mampu juga, maka cukup mencegahnya dengan hati, walaupun itu adalah kelemahan iman.

[40] Akhmad Mujahidin, op.cit., hal. 16

[41] QS. Al Ahzab: 21

[42] (QS. Al Qalam: 4)

[43] Afzalurrahman, Muhammad Sebagai Pedagang. Swana Bhumi, Jakarta, 1997, ha. 100,

[44] Hadis Nabi

[45] (QS.Al Hajj: 41)

[46] (QS. Al Baqarah: 156)

[47] (Akhmad Mujahidin, op.cit., hal. 23

[48] Ibid.

[49] Ya dullahi fauqa ai dihim (tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah) Hadis Nabi Muhammad saw.

[50] Orang miskin yang dermawan dalam konteks hadis tersebut adalah merupakan sebuah motifasi agar berupaya meningkatkan kehidupan ekonominya sehingga terleppas dari kelilian kemiskinan

[51] Akhmad Mujahidin, op.cit., hal. 25

[52] Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Kencana, Jakarta, 2007, hal. 7

[53] Ibid.

[54] Gamala Dewi, Aspek-Aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuansian Syariah di Indonesia. Edisi Revisi. Kencana, Jakarta 2006, hal. 51

[55] Ibid.

[56] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. RajGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 5

[57] Ibid., hal. 5

[58] Abdul Wahab Khalaf. Kaidah-kaidah Hukum Islam. Risalah, Bandung, 1980, hal. 46

[59]Mohammad Anwar, Fikih Islam. PT. al Maarif, Bandung, (1973, hal. 23

[60] (Warkum Sumitro, op.cit.,hal. 92-93

[61] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Alvabet, Jakarta, 2003, hal. 54

[62] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga. (studi kritis dan interpretasi kontemporer tentang riba dan bunga). Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2004, hal. 90

[63] Ibid.

[64] H.R. Daeng Naja, Hukum dan Bank Garansi (The Bankers Hand Book), Citra Adiya Bakti, Bandung, 2005, hal. 141

[65] Tidak ada satu ayat maupun sebuah hadis pun yang menyebutkan konsep mudarabah, tetetapi lahir dari sebuah tradisi kaum muslim dalam mengadakan sebuah perikatan. Qureshi, D.M. ‘Instrument and its Modern App;ication” Journal of IslamicBanking and Finance, Winter 19985, hal. 12

[66] Abdullah Saeed, op.cit., hal. 91

[67] Muhammad Syafi’i Antonio, 2001: 150

[68] Abdullah Saeed, loc.cit.

[69] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hal. 150-151.

[70] Ibid.

[71] Ibid., hal. 151

[72] Ibid.

[73] Ibnu Rusyd, Bidayatuk Mujtahid, Darul Fikr, Beirut, 1988, hal. 255-257.

[74] Adiwarman A. Karim, 2001: 81

[75] Abdullah Saeed, op.cit., hal. 122

[76] Ibid., hal. 122-123

[77] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 113

[78] Abdurahman al Jaziri, al Fiqh ‘Ala Mazahib al Arba’ah. Dar al Qalam, Beirut, t.th., hal. 94

[79] Ibid., hal. 97

[81] Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit., hal. 11-12

[82] Karnaen Perwaatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, 1992: 44-45

[83] Gemala Dewi. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia. Prenada Media Group. Jakarta, 2006, hal. 137

[84] Sistem aqilah adal sistem menghimpun dana anggota sebagai tabungan bersama untuk menyumbang atau sebagai pertolongan kepada keluarga yang terbunuh dengan tidak sengaja. Ibid.

[85]Muhammad Syakir Sula, 2004, Asuransi Syariah (life and genaral) Konsep dan Sistem Oprasional, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hal. 28

[86] Ibid

[87] Muhammad Syauqi al Fanjari, al Islam wa at-Ta’min, t. p. Riyad 1994, hal. 23

[88] Husain Hamid Hisan Hukmu al Syari’ah al Islamiyah Fii Uquudi al Ta’min, Daru al I’tisham, Kairo t.th., hal.

[89] Muhammad Syakir Sula, op.cit., hal. 29

[90] Ibid.

[91] Ibid., hal. 29-30

[92] Husain Hamid Hisan, op.cit., hal. 4

[93] Huzaemah T. Yanggo, Asuransi Hukum dan Permasalahannya, Jurnal Amal, Tahun VII, No. 12, 2003, hal. 23

[94] Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, Dar al Fikr, Beirut 1992, hal. 302

[95]Warkum Sumitro. Asas-Asas Pewrbankan Islam dan Lembaga0Lembaga Terkait, Bamui, Takaful dan Pasar Modal Syariah di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 187

[96] Ibid., hal. 187-188

[97] Protofilio adalah sekumpulan sekuritas atau surat berharga atau efek instrumen investasi yang berada dalam satu pengelolaan. Mustafa Edwin Nasition, Muhammad Arief Mufraeni, Budi setyanto, Bey Sapta Utama, Nurul Huda, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, hal. 308

[98] Achsien, 2000: 83-84)

[99] Tim Penyusun Kamus, op.cit., hal. 699

[100] Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, http://id.wikipedia.org/wiki/Obligasi, tgl. 27-11-2008

[101] Rachmadi Usman, 2000: 110)

[102] Sunaryo, Hukum Lembaga Pembiayaan. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 1

[103] Ibid.

[104] Ibid., hal. 2

[105] Ibid., hal. 2-3

[106] Yang dimaksud dengan instrumen syariah adalah sumber hukum Islam yaitu, Alqur’an, As Sunnah, ijma’ dan qiyas, Muhaamd, Aspek Hukum dalam Muamalat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, hal. 26, Amir Syarifuddin mengklasifikasikan sumber hukum dan dalil hukum, Alqur’’an dan As Sunnah sebagai sumber dan dalil hukum, sedangkan ijma’ adalah dalil hukum fikih, ra’yu (nalar) dalil hukum hukum dan qiyas merupakan metode penggalian hukum syara, Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh, jilid 1 Kencana, Jakarta, 2008, hal. 47-48

[107]Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 1. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Huzaimah T. Yanggo. Problematika Hukum Islam Kontemporer III. Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Jakarta, 1995, hal. 59

[108] Warkum Sumitro, op.cit., hal. 46

[109] Abi Muhammad Abdullah bin Muhammad Bin Ibnu Qudamah, Al-Mughny ‘ala Mukhtashar Al-Kharqiyy. Jilid 4, Ad-Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, 1994, hal. 243

[110] Wahab Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, jilid 4. Dar Al-Fikr, Beirut, 2002, hal. 4204

[111] Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang Gadai, Al Maarif, Bandung, 1993), hal. 50

[112] Zainuddin Ali, op.cit., 3

[113] Ahli hukum Islam dari kalangan Hanfi berpandangan bahwa barang yang dikajdikan jaminan itu harus memenuhi unsur 1) barang gadai itu bisa dapat dijual, 2) barang gadai berupa harta, 3) barang gadai itu diketahui wujudnya, dan 4) barang tersebut amilik si pemberi gadai. Ibid., 26

[114] Ibid., hal. 27

[115] Hendi Suhendi, opcit., hal. 43

[116] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontektual. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.75

[117] Wahab Al Juhailli, al Fiqh al Islami wa Adillatuhu, juz IV Dar al Fikr, Damsyik, 1989, hal,80

[118] Rahmat Syaffei, Fiqih Muamalah. Pustaka Setia, Bandung, 2006, hal. 43

[119] Mariam Darus Badrulzaman et., el., “Kompilasai Hukum Perikatan”., dalam Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2005, hal. 45

[120] Ahmad Azhar Basyir. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). UII Prees, Yogyakarta, 2000, hal. 65

[121] Perikatan merupakan pengebangan dari aspek-aspek persetujuan yang telah dijanjikan. Azis Budianto, Eni Herwiyanti, Elvin Ibrahim, Henny Widhayanto, Riswadi dan Nirmawti A. Aspek Hukum Perbankan. Pamator Pressindo, Jakarta, t.th., hal. 27

[122] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perangcangan Kontrak. RajaGrafindo Persada. Jakarta, 2007, hal. 1

[123] Ibid.

[124] Azis Budiantol , op.cit., hal. 27-28

[125] Yaitu pelaksanaan akad, tujuan akad dan objek akad tidak boleh bertentangan dengan Syariat Islam (Alqur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.) seperti perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bukan untuk maksiat atau kejahatan, dan bukan barang atau makan dan minuman yang diharamkan. Gemala Dewi, Wirdyaningsih, Yeni Salma Barlinti, op.cit., hal.48

[126] Ibid., hal. 46

[127]Ibid., hal. 50

[128] Abdul Aziz Dahlan, ed., Ensiklopedi Hukum Islam., Jilid 5 Ichtiar Baru van hoeve, Jakarta, 1996, hal. 1510

[129] Ibid., hal. 1691

[130] Ibid., 1692

[131] Ghufron Mas’adi, op.cit., hal. 79

[132] Ahmadi Miru., op,cit., hal. 13

[133] Ibid.