. HAKEKAT KEWARISAN DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Latar Belakang
Kekewarisanan Islam yang bersifat trasendental tersebut, di satu sisi penerapannya harus sesuai dengan konteks Alqur’an yang tidak ada peluang interpretsi para hakim, di satu sisi yang lain dibutuhkan kearifan hakim untuk memberikan konstribusi hukum berdasarkan rasa keadilan dan kemanfaatan.
Puncak perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia dengan disusun Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman bagi hakim pengadilan agama dalam menerima, memeriksa dan memutuskan perkara.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam (a) untuk merumuskan secara sistimatis hukum Islam di Indonesia secara konkrit; (b) guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan peradilan agama; (c) sifat kompilasi berwawasan nasional yang akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia apabila timbul sengketa di dalam sidang peradilan agama; (d) sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam
Kehadiran KHI menjadi hukum materil yang seragam dan menjadi hukum posif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang keputusan dalam lembaga-lembaga peradilan agama, jika masalah perbedaan yang disebabkan oleh masalah doktrin hukum dari ahli hukum klasik dapat diakhiri.
Norma-norama hukum kewarisan dalam KHI oleh hakim di Pengadilan Agama tidak secara totalitas dijadikan sebagai pedoman dalam memutuskan suatu perkara. Bahkan terjadi perbedaan penerapan hukum. Misalnya tentang ahli kewarisan pengganti. KHI Pasal 185 ahli kewarisan meninggal lebih dahulu dari pada pekewarisan maka kedudukannya digantikan oleh anaknya. Bagian ahli kewarisan pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli kewarisan yang sederajat dengan yang diganti. Pergantian demikian menimbulkan persoalan baru dan mempengaruhi status ahli kewarisan.
Hukum kekewarisanan dalam KHI massih selalu mendapat sorotan dari kalangan intelektual muslim, bahkan dikalangan ahli hukum juga mempunyai persepsi yang berbeda. Persoalan ketentuan masing-masing bagian ahli kewarisan, ada pandangan bahwa bagian dua bading satu tidak memenuhi rasa keadilan. Sistem hukum kewarisan Islam terlalu bersifat patrinialistik bahkan cenderung bersifat diskriminatif terhadap hak-hak perempuan.
Persoalan asas kebersamaan dan asas kerukunan dalam masyarakat
Dari kenyataan sosial (sosial reality) tersebut, terdapat beberapa hal yang perlu diperlukan penelitian yang lebih mendalam dan bersifat konprehensif. Yaitu dalam realitas sejarah hukum kewarisan Islam di Indonesia masih menjadi polimik, baik di kalangan ahli hukum Islam maupun ahli hukum nasional. Demikian pula, masih terjadi perbedaan pandangan tentang sistem hukum kekewarisanan Islam terutama menyangkut dengan pembagian saham. Disamping itu, masih terjadi dualisme penerapan hukum kewarisan, (asas pilahan hukum)
B. Rumusan Masalah
1. Sejaumahana pandangan masyarakat terhadap sistem hukum kekewarisanan dalam Kompilasi Hukum Islam?
2. Sejauhmana implementasi hukum kewarisan Islam dalam sejarah hukum nasional?
3. Sejauhmana kekuatan prinsip-prinsip kewariasan dalam kompilasi hukum Islam memberikan jaminan kepastian hukum?
C. Stratifikasi Teori
1. Teori penerima otoritas hukum Islam oleh Gibb orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nyai. Oleh karena itu, apabila mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatanan dari Allah dan tradisi rasul. (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006 : 74). Demikian pula teori krido, atau teopri syahadat yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebagai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya. (Syaukani, 2006 : 67)
2. Teori receptie in complexu oleh Christian van den Berg, bahwa hukam adat dapat diterima sebagai hukum apabila diterima oleh hukum Islam. Dan menurut Reffles hukum asli
3. Teori receptie oleh Chritian Snouck Horgronje bahwa 1) norma Hukum Islam itu harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adapt masyarakat setempat). 2) kalaupun sudah diterima oleh Hukum Adat, norma dan kaidah Hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda. (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006: 74
4. Terori receptie exit oleh Hazairin bahwa teori receptie sudah harus dikeluarkan dari konsep hukum nasional karena berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan hukum kewarisanan colonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentngan dengan Undang-undang Dasar, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia belanda yang berdasarkan teori receptie dianggap tidak berlaku lagi harus exit karena bertentangan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul. (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006 : 82)
5. Teori receptie a contrario oleh Sayuti Thalib (1980: 15-70) bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan cita-cita moral; dan 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islm.
6. Teori Kewrisan Bilateral oleh Hazairin bahwa hukum kekewarisanan Islam bersifat bilateral, meletakkan anak laki-laki dan perempuan menjadi kedudukan yang sama dalam menempati kedudukan waris. (Abdul Ghofur Anshori, 2005: 203)
7. Teori universal hukum waris oleh Muhammad Shahrur (2004: 344), bahwa hukum waris bersifat universal yang ditetapkan bagi laki-laki dan perempuan di seluruh penjuru bumi. Oleh karena itu, hukum waris mewujudkan persamaan antra pihak laki-laki dan pihak perempauan di masyarakat secara utuh dan bukan pada level pribadi atau level keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar