Senin, 08 Desember 2008

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Dasar Teori dan Konseptual

  1. Teori Kewenangan

Setiap peradilan mempunyai dua kewenangan yaitu kewenangan relatif (relative competentie) dan kewenangan absoulut (obsolute competentie.[1] Kewenangan relatif didasarkan pada seberapa luas wilayah jurisdiksi peradilan tersebut, biasanya diasarkan pada sebuah keputusan pemerintah. Sebab bisa saja wilayah jurisdiksi sebuah peradilan bisa mewilayahi satu atau dua buah kabupaten. Sedangkan kewenangan absolut adalah kewenangan yang diberikan UU terkait dengan bidang-bidang perkara yang disengketakan.

Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2006, sengketa ekonomi syariah menjadi kewenangan peradilan agama. Hal ini, sebelumnya menjadi perbedaan pandangan di linglungan peradilan, terutama di Mahkamah Agung. Ada padangan yang memahami sengketa ekonomi syariah termasuk bidang niaga, berarti yang mempunyai kewenangan adalah peradilan umum. Pandangan yang lain memahami karena ekonomi yang dilaksanakan berdasarkan pada prinsip-prinsip syariah (hukum Islam), berarti peradilan agama mempunyai kewenangan. Kedua pandangan tersebut hanya melihat subtansi bidang ekonomi syariah, tidak melihat dari sudut mana mendapatkan kewenangan itu.

Telah dipahami bahwa pilar utama negara hukum adalah asas legalitas, dalam asas tersebut tersirat wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sember wewenang bagi pemerintahan adalah peraturan perundang-undangan.[2] Secara teoritis, terdapat tiga cara memperoleh kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan[3] yaitu: 1) pelimpahan kewenangan dengan atribusi; 2) pelimpahan kewenangan dengan delegasi, dan 3) pelimpahan kewenangan dengan mandat.

  1. Pelimpahan Kewenangan dengan Atribusi

Dalam Kamus Istiah Hukum Belanda-Indonesia dikatakan atribusi[4] (attributie) bermakna pembagian (kekuasaan), seperti kata attributie van rechtsmacht mengandung arti pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competentie atau kewenangan mutlak lawan dari distributie van rechtmacht). Subtansi atribusi adalah menciptakan suatu wewenang dimaksudkan untuk melengkapi organ pemerintahan dengan pengusa pemerintah dan wewenang-wewenangnya.[5] Pemberian kewenangan dalam bentuk atribusi dari pembuat undang-undang kepada suatu organ pemerintah, baik organ pemerintah sudah dibentuk maupun yang dibentuk pada kesempatan itu.

Menurut H.D. van Wijk dalam Andi Gadjong[6] atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Sedangkan pembentuk undang-undang diwakilkan organ-organ pemerintah yang berhubungan dengan kekuasaan dilaksanakan secara bersama.

Pendelegasian kekuasaan didasarkan pada amanat suatu konstitusi yang dituangkan dalam suatu peraturan pemerintah, yang tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Dalam hal ini berbeda dengan delegasi, kewenangan terjadi karena pendelegasian diamanatkan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah dan didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk dilanjutkannya. Kewengan atribusi hanya dapat dilakukan oleh pembentuk undang-undang (legislator) yang orsinil. Hal yang sama, seperti tertuang dalam Algement Bepalinge van Administratief Recht, yang dikutip oleh Ridwan HR[7] kewenangan atribusi yaitu undang-undang (dalam arti material) menyerahkan wewenang-wenang tertentu kepada organ tertentu.

  1. Pelimpahan Kewenangan dengan Delegasi

Kewenangan dengan delegasi adala penyerahan dari pejabat yang tinggi kepada yang lebih rendah berdasarkan ketentuan hukum[8]. Pelimpahan kewenangan dengan delegasi harus didasarkan pada ketentuan hukum, karena dalam keadaan tertentu pemberi kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang didelegasikan. Karena pelimpahan kewenagan dengan cara delegasi bukan pembebasan sepenuhnya, tetapi untuk peringanan dari suatu beban kerja[9].

Beda dengan kewenangan atribusi, kewenangan dengan delegasi dituntut adanya dasar hukum sehingga pelimpahan kewenangan itu dapat ditarik kembali oleh pendelegans. Pelimpahan wewenang oleh organ pemerintah kepada organ lain untuk mengambil keputusan dengan tanggung jawab sendiri. Dikonstantir oleh Ridwan HR[10] bahwa dalam penyerahan wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak lain.

Pelipahan wewenang pemerintahan dalam bentuk delegasi terdapat syarat-syarat sebagaimana yang dikutip oleh Ridwan HR dalam Philip M. Hajon[11] sebagai berikut:

  1. Delegasi harus bersifat definitif, delegans tidak dapat lagi menggunakan wewenang yang telah dilimpahkan.
  2. Delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan,
  3. Delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.
  4. Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans berwenang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.
  5. Peraturan kebijakan (beleidstegel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.

Syarat-syarat yang dikemukakan oleh Philip M. Hajon menunjukkan bahwa pelimpahan kewenangan dengan cara delegasi hanya terbatas pada peringanan atas suatu beban kerja. Ini berarti penerima pendelegasian bertanggung jawab atas secara yuridis bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan.

Heinrich[12] membedakan delegation atas primare delegation dan sekundare deligation. Pada primare delegation berhubungan dengan keluasan keweangan yang dapat berkurang atau bertambah, sedangkan pada sekundare delegation berhubungan dengan bentuk kewenangan yang bisa zelfstanding atau alfhahelijk. Pelimpahan kewenangan dengan delegasi dapat dalam bentuk pendelagasian yang meliputi keseluruhan kompetensi tertentu dari pihak yang mendelegasikan.(totale delegation), dapat juga dalam bentuk pendelegasian sebagian kompetensi (partielle delegation).

Hans Petres[13] memberikan batas-batas yang berdasarkan atas hukum positif bagi pendelegaisan, yaitu (1) jika suatu kewenangan berdasarkan atas sesuatu sumber hukum yang lebih tinggi daripada yang dikuasai oleh yang mendelegasikan, (2) terletak dalam asas bahwa tak ada suatu organ boleh mendelegsikan kseluruhan kompetensinya, juga tidak mengenai bagian-bagian yang pokok dari padanya kepada lain alat perlengkapan.

  1. Pelimpahan Kewenangan dengan Mandat

Pelimpahan kewenagan dengan mandat berbeda dengan kewenagan atribusi maupun kewenangan delegasi. Mandat adalah suatu bentuk pemberi kewenangan oleh mandans dalam pergaulan hukum besifat perintah[14]. Menurut HD van Wijk/Willem Konijnembelt[15] mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namnya. Sejalan dengan pendapat van Wijk/Willem Konijnembelt tersebut menurut Henrich dalam Agussalim Andi Gadjong[16], mandapat merupakan suruhan (opdrach) pada suatu organ untuk melaksanakan kompetensinya sendiri, maupun tindakan hukum oleh mandans memberikan kuas penuh (volmacht) kepada sesuatu subyek lain untuk melaksanakan kompetensi atas nama mandans. Jadi penerima mandat bertindak atas nama orang lain. Sementara Lubberdink dalam Agussalim Andi Gadjong[17], pertanggungjawaban untuk pelaksanaan wewenang tetap pada mandans, sebab pemberi kuasa yang memberikan petunjuk, baik yang umum maupun petunjuk khusus kepada masayarakat.

Menurut Bothlingk yang dikutip oleh Harun Alrasyid[18] dalam hukum tata negara mandat dapat diartikan sebagai perintah yang diberikan oleh seorang pejabat atas nama jabatannya atau golongan jabatannya kepada pihak ketiga untuk melaksanakan (sebagian) tugas pejabat itu atgas jabatan atau golongan jabatan. Dengan tidak memindah-tangankan kewenangan, pemegang jabatan tetap berwenang bertindak atas nama jabatannya, hanya dengan permberian mandat, ada pihak ketiga (mandataris) yang memperoleh kewenangan yang sama.

Pandangan yang sama dekemukakan oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR[19] mandat tidak terkait dengan penyerahan atau pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apa pun (setidak-tidaknya dalam arti formal), yang hanya adalah dalam hubungan internal. Sedangkan dalam arti yuridis wewenang dan tanggung jawab ada ditangan mandans. Kedua pandangan tersebut menunjukkan bahwa pelimpahan wewenang hanya melalui dua cara, yaitu dengan cara atrubusi dan delegasi.

Penyelesaian sengketa ekonomi syariah baik UU No. 3 Tahun 2006 perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peadilan Agama maupun UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Bank Syariah memberikan kewenangan obsulut kepada Pengadilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah[20], baik baik di kalangan muslim maupun yang bukan muslim secara pribadi atau berbadan hukum yang tunduk dalam melaksanakan sistem ekonomi syariah.

Namun demikian, dalam hal kewenagan penyelesaian sengketan perbankan syariah berdasarkan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan dalam hal para pihak yang telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain Peradilan Agama penyelesaian sengketa dilakukakan sesuai dengan isi Akad.

Di dalam penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 disebuktkan bahwa yang dimaksud dengan penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad adalah upaya sebagai berikut:

  1. Musyawarah
  2. Mediasi perbankan
  3. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain.
  4. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Pendelegasian kewenangan penyelesaian sengketa perbankan syariah berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 kepada Peradilan Aama terdapat dua asas yaitu asas personalitas keislaman dan asas pelihan hukum sesuai dengan isi Akad perjanjian.

  1. Teori Sistem Hukum

Menurut W. Friedman

  1. Teori Penerimaan Hukum Islam

Hukum Islam dalam sejarah Indonesia, diberlakukan sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, walaupun masih terdapat kontrafersi tentang bidang hukum yang diberlakukan. Ada yang berpandangan bahwa hukum Islam yang berlaku pada masa kerjaan-kerjaan Islam hanya bidang hukum privat khusus hukum keluarga, pandangan yang lain bahwa hukum Islam menjadi resmi hukum kerajaan-keajaan Islam, baik hukum privat maupun hukum publik.

Teori otoritas penerimaan hukum Islam dikemukakan oleh HAR Gibb[21], bahwa setiap orang yang menyatakan diri sebagai seorang muslim maka secara otomatis menerima secara totalitas hukum Islam. Ketaatan seorang kepada hukum Islam pada saat dia mengucapkan dan meyakini bahwa Tidak ada Tuhan yang haq disembah kecuali Allah Tuhan Yang Maha Esa, dan mengucapkan dan meyakini bahwa Nabi Muhammad saw., adalah benar-benar utusan Allah.[22] Persoalan ketaatan kepada hukum Islam dapat dibedakan atas ketaatan berdasarkan pada etika dan moral Islam dan ketaatan berdasarkan legalitas formal Islam.

Ketaatan berdasarkan pada moral Islam selalu berhubungan dengan perilaku orang Islam yang terkait dengan ibadah mahdah dikenakan pahala bagi yang melaksanakan kewajibannya dan dosa bagi yang melalaikan kewajibannya[23]. Sedangkan ketaatan berdasarkan legalitas formal Islam berhubungan dengan perlaku orang Islam yang bersentuhan langsung dalam menjaga hak-hak privatnya dan melakukan kewajibannya untuk menjaga hak-hak sosial. Melanggar hak dan melalaikan kewajiban dikenakan sanksi eksteranal baik sanksi perdata maupun sanksi pidana.

3. Teori Pemberlakuan Hukum Islam Indonesia

  1. Terori receptie in Copmlexu

Terori receptie in Copmlexu dikemukakan oleh Lodewijke Willwm Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam)[24]. Menunjukkan bahwa setiap hukum yang bukan dari hukum Islam dapat diberlakukan apabila sesuai dengan hukum Islam. Seperti halnya dalam kaidah fikih disebutkan bahwa adat yang berulang-berulang dilakukakan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dijadikan sebagai hukum (al adat al muhkamat). Teori ini digunakan untuk mengukur seberapa besar norma-norma hukum ekonomi konvensiaonal dapat diredupsi sebagai norma hukum Islam.

  1. Teori receptie

Teori receptiei dikemukakan oleh Chritian Snouck Hoergronje[25] sebagai bantahan atas teori receptie in Complexu. Menurut penganut teori recptie bahwa hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat. Di dalam hukum adat sedikit terdapat pengaruh hukum Islam, dan pengaruh hukum Islam itu, baru mempunyai kekuatan kalu sudah diterima oleh hukum adat dan dia lahirlah sebagai hukum adat dan bukan sebagai hukum Islam. Teori ini bertolak dari teori positivis, digunakan untuk mengukur seberap besar animo masyararakat yang menggunakan sistem ekonomi syariah menyelesaikan sengketanya melalu jalur Pengadilan Agama.



[1] Musthofa Sy. Kepaniteraan Peradilan Agama, Kencana, Jakarta, 2005, hal. 9

[2] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo, Jakarta, 2006, hal. 103

[3] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah (kajian politik dan hukum), Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal. 101-106

[4] N.E. Algra, H.R.W. Gokkel, Saleh Adiwinata, Boerhanoeddin, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta, Jakarta, 1983, hal. 38

[5] Agussalim Andi Gadjong, op.cit. hal. 101

[6] Ibid., hal. 102

[7]Ridwan HR, op.cit., hal. 106

[8] Menurut Alf Ross pelimpahan kewenangan dengan delegasi dalam bentuk pendelegasian kekuasaan perundang-undangan tidak boleh didelegasikan lagi (delegata potestas non potest delegari) dengan demikian subdelegasi tidak diperkenankan, Andi Gadjong , op.cit., hal. 105

[9] Ibid.

[10] Ridwan HR, op.cit., hal. 107

[11] Ibid.

[12] Andi Gadjong, op.cit., hal. 105)

[13] Ibid.

[14] Ibid., hal. 106

[15] Ridwan HR, op.cit., hal. 105

[16] Agussalim Andi Gadjong, op.cit., hal. 106-107

[17] Ibid., hal. 107

[18] Harun Alrasyid, Pengesian Jabatan Presiden (Sejak Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 1945 sampai Sidang Majelis Permusyawaratan 1993). Disertasi Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1993, hal. 87

[19] Ridwan HR. op.cit., hal. 106

[20]Pendelegasian kewenangan penyelesaian sengketa ekonomi syarian kepada peradilan Agama, sekunrangnya ada dua landasan, pertama, sistem ekonomi yang dibangun didasarkan pada landasan syariat (agama) Islam (aqidah, syariah dan akhlaq), kedua, ekonomi syariah dengan konsep alfalahnya menunjukkan bahwa dalam melakukakan aktifitas ekonomi ada dua keberuntungan, yaitu keuntungan material dan keuntungan spritual (tabungan akhirat), untuk memahami konsep alfala tersebut seharus ditangani oleh hakim yang memiliki kemampuan intelektual dan kemampuan speritual dengan kata lain hakim yang mengetahui dan memahmai nilai-nilai hukum ekonomi dan nilai-nilai hukum Islam.

[21] HAR Gibb, The Modern Trends in Islam

[22] Kedua kalimat tersebut dari epestimologi Islam disebut dengan penyaksian Ketuhanan (syahada al tauhid) dan penyaksian kerasulan Nabi Muhammad saw. (syahada al rasul) kedua pernyataan penyaksian tersebud dikenal dengan teori syahada atau teori karedo dikemukan oleh John Anderson. Imam Syaukani, Rekonstruksi Epestimologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya Bagi Pembangunan Hukum Nasional, RajaGafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 67

[23] Dalam istilah ilmu hukum dikenal dengan kaidah Agama

[24] Sayuti Thalib, Recetie a Cantrario, Hubungan Hukum Dengan Hukum Islam, Bina Aksara, Jakarta, 1980, hal. 7

[25]Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia Dalam Rentang Serah dan Pasang Surut. UIN-Malang Press, Malang, 2008, hal. 86

Tidak ada komentar: