REALITAS KEBERLAKUAN HUKUM
KEWAISAN DI
Oleh Mohdar Yanlua
Abstarksi
Hukum kewarisan brlaku sejak masa kerajaan-kerajaan kesultanan Islam di nusantara ini dan pada awal masa pemerintahan penjajahan Hindia Belanda. Namun, dari pandangan sudut politik Snouck Hugronjer tidak menguntungkan pemerintahan Hindia Belanda, maka mengajukan teori receptie untuk menggnatinkan teori reception in complex. Setelah Indonesia merdeka dengan didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Hazairin menyebut teori recepti dengan teori iblis dan menawarkan teori receptie exit disamping itu mengemukakan teori kewarisan bilateral dan konsep mawali, pada tahun 1957 pemerintah menetap Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Aama dan Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura serta Kalimatan Selatan, dengan kewenangan dalam bidang perkawinan dan kewarisan. Keadaan ini berlaku sampai diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana tidak ada perbedaan kewenagan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimatan Selatan dan pada tahun 1991 Presiden mengeluarkan Impres Nomor 1 Tahun 1991 tentang sosialisasi Kompilasi Hukum Islam untuk menjadi hukum materil di Peradilan Agama dalam menyelesaikan perkara waris bagi umat Islam.
Kata kunci: masa kesultanan, Hindia Belanda, teori, hukm adapt, teori belateral dan mawali Hazairin, Kompilasi Hukum Islam
Pendahuluan
Perkembangan hukum waris Islam di Indonesia sejak permulaan perkembangan Islam di Nusantara ini mengalami staknasi yang panjang pada awal abad 19 dengan munculnya teori reception in complexu merupakan teori yang menegaskan bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standar politik hukum Belanda, salah satu pendukung teori ini adalah Lodewyk Willem Christian van den Berg. Namun, teori ini dikritik oleh Cornelis van Vallenhoven bahwa hukum adatlah yang seharusnya berlaku, kritik van Vallenhoven ini diperkuat oleh Christian Snouk Hurgronye dengan teori reseptienya. Teori Snouk Hurgronye ini mempengaruhi politik hukum Belanda, sehinggam masyarakat
Dengan demikian, sejauh mana perkembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia?
Sebelum Masa Pemerintahan Belanda
Telah banyak kerajaan Islam di Nusantara seperti kerjaan Pasai, Demak, Cirbon, Buton dan Ternate yang memberlakukan hukum Islam. Paham yang dianut (legal sistem) pada umumnya bermazhab Syafi’i. Kerjaan tersebut telah menerapkan norma-norma hukum Islam dan masyarakat memberlakukannya. Pemberlakukan hukum Islam oleh kerajaan Islam tersebut tidak parsial. Sesuai dengan terori penerima otoritas hukum Islam yang dijelaskan oleh Gibb dalam bukunya The Modern Trends in Islam yang dikutip A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, bahwa orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nyai. Oleh karena itu, apabila mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatan Allah dan tradisi rasul.[2] Demikian pula teori krido, atau teopri syahadat yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimah syahadat sebgai konsekuesi logis dari pengucapan kredonya[3].
Dilihat dari sudut penetaan hukum Islam, melaksanakan syari’at Islam yang dilengkapi dengan institusi-institusi keagamaan, seperti pengadilan agama merupakan fardu kifayah (kewajiban sosial). Karenanya, pada kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut selalu membentuk badan-badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini merupakan salah satu pendekatan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu menerapkan hukum waris … sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum
Menurut Syaukani biasanya pemberlakuan hukum Islam pada kerjaan-kerjaan Islam itu sangat bergantung pada mazhab yang dianut oleh para Sultan[6]. Selnjutnya dikatakan walaupun pemberlakuan Islam berdasarkan pada mazahb yang dianut oleh para Sultan, tetapi hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan cara pandang kesadaran masyarakat
Misalnya masyarakat Aceh menyatakan, hukum Islam adalah adatnya, adatnya adalah hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat bersendikan syarak; syarak bersendikan kitabullah. Demikian juga di Pulau Jawa, pengaruhnya sangat kuat sehingga Alqur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku. Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil mempengaruhi kebeeragamaan masyarakat
Masa Pemerintahan Belanda (Penjajahan)
Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menyahuti pemikiran dan implimentasi hukum Islam adalah merumuskan dan menformulasikan teori-teori yang berkenaan dengan cita-cita hukum dan adat masyarakat
1); teori receptie in complexu oleh Lodewijke Willwm Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan hukum Islam berlaku bagi orang-orang Islam Indonesia walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan,[8] pendapat van den Berg ini dikenal dengn teori recetio in complexu.
Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memperhatikan dan mencermati fakta-fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Kemudian, van den Berg mengonsepkan Staatsblat 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya. Hal ini berarti, bagi rakyat jajahan yang beragama Islam di Indonesia berlaku hukum Islam. Bagi badan-badan peradilan agama, ketika pemerintah Hindia Belanda datang ke
Pemeritahan Gubenur Daendels, anggapan umum bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedangkan Reffles mengira hukum adat itu tidak lain hukum Islam.[10] karena pandangan Pemerintah Belanda bahwa hukum Islam adalah hukum asli Indonesia, maka ditetapkan Regering Reglemen (Staatsbalat 1884 Nomor 129 di Negeri Belanda jo Staatsblat 1885 Nomor 2 di Indonesia) terutama diatur dalam Pasal 75, Pasal 78 jo Pasal 109 Reglemen teersebut, waktu dikenal dengan Receptio in Complexu.
Subtansi ketiga pasal tersebut adalah setiap sengketa antara orang-orang
Dari ketentuan peraturan dan Undang-udang tersebut, menurut Muhammad Ali Daud (1982 :101) bahwa tanpak dimasa pertama pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam itu diakue eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia terutama mereka yang beragama Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-undangan ditulis satu nafas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini telah berlangsung demikain juga, seperti terkenal compendium freijer,[12] dapat juga dikatan hukum adat dapat diberlakukan jika diresepi atau diterima oleh hukum Islam.
Cornelis van Vollenhoven yang dikenal ahli hukum adat Indonesia, dia membagi hukum adat atas 19 persekutuan hukum adat, mengiritik dan menyerang pasal 75, 78 dan 109 RR Staatsblat 1855 No 2 itu, dan van den Berg juga turut dikritik dan diserang atas teori recetio in complexu itu.
2); teori receptie oleh oleh Chritian Snouck Hoergronje, penasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Isla am dan anak negeri. Memperkuat kritikan van Vollenhomen terhaap teori receptie in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang berlaku bagi orang- orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masinF. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Pendapat Snouck Horgronje ini disebut dengan teori receptie[13] Jadi adatlah menentukan ada tidaknya hukum Islam. (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, 2006 : 74).
Pendapat Snouck Horgronje tersebut merobah pandangan politik hukum Hindia Belanda, perubahan atas Staatsblat 1855 No.2 diganting dengan Indische Staats Regeling (staatsblat 1925 N0. 416) disusul dengan Staatsblat No. 1929 No. 221 dimana nyatakan hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat.
Pertama: Norma Hukum Islam itu harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adapt masyarakat setempat).
Kedua: Kalaupun sudah diterima oleh Hukum Adat, norma dan kaidah Hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.
Demikian pula lat 1882 No. 152 dimana pengadilan aganma mempunyai kewenagan memeriksa perkara perkawinan dan kewrisan diganti dengan Staatsblat 1937 No. 116, hukum waris dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama. Kompensasinya dieuntuk pengadilan tingkat banding di Pulau Jawa dan Madura. Dan Staatsblat 1937 No. 610 tentang Pengadilan Agama dan pengadilan tinggi Agama di Kalimatan Selatan.
Teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropah, maka penjajahan atas
Masa Pemerintahan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri merdeka, dan pada tangga 18 Agustus 1945 hasil rumusna rancngan Udang-Undang Dasar oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonseia (Panitia sembilan) disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan
Perkembangan selanjutnya ahli hukum Islam Indonesia berusaha agar bagaiamana sehingga hukum Islam itu menjadi hukum nasional, uapaya semenar nasional dalam pembentukan hukum, hukum Islam dijadikan sebagai salah satu sumber di samping hukum Eropah dan hukum Adat. Dengan populasi warga Naegara
Dengan keahliannya bidang hukum ini, Hazairin mengetahui betul bagaimana kondisi hukum Islam di Indonesia bila dikaitkan dengan hukum adat. Teori Receptie[17] yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu Hazairin tidak segan-segan lagi untuk menyebut teori ini sebagai “teori Iblis”.[18] Sebagai sanggahan atas teori ini ia kemudian mencanangkan teori Receptie Exit[19], yang kemudian ditindak lanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, SH, dengan teori Receptie a Contrario.[20] Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam.[21]
Adapun ide pembaharuan dalam hukum waris yang dicetuskan Hazairin pada intinya berintikan: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui dalam teori ini. ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).[22]
Berdasarkan teori ini Hazairin membagi ahli waris menjadi tiga kelompok, yakni: zawu al-faraid, zawu al-qarabat, dan mawali. Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka ini dikeluarkan dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang, dan biaya kematian. Adapun zawu al-qarabat adalah ahli waris yang tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang, onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid. Sedangkan mawali adalah ahli waris pengganti, yang oleh Hazairin konsep ini di-istinbat-kan dari Q.S. al-Nisa (4): 33. Adanya mawali (ahli waris pengganti) ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam ilmu faraid (waris).[23]
Yang dimaksud mawali (ahli waris pengganti) di sini adalah ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.[24]
Pada akhir tahun 1989 dengan perjuangan politik yang alot oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan komitmen Pemerintah untuk menjadikan pengadilan agama mempunyai kedudukan, tugas dan fungsi yang sederajat dengan pengadilan yang lain ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dengan memiliki kewenagan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, wakaf dan hibah berdasarkan hukum Islam, wakaf dan sadakah (Pasal 49). Berdasarkan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang amndemen UU Nomor 7 Tahun 1989 kata berdasarkan hukum Islam dihilangkan, maka pengadilan agama memiliki kewenangan dalam perkara perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak, shadakah dan ekonomi syari’ah.
Puncak perkembangan hukum waris Islam di Indonesia dengan disusun Kompilasi Hukum Islam menjadi pedoman bagi masyarakat Islam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) hasil ijtihad jam’i (pendapat kolektif) para kalangan ahli hukum Islam Indonesia keberlakuannya berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, dalam pertimbangan yuridis Kompilsi Hukum Islam (KHI) dikatakan berlaku bagi Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya dapat digunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah di bidang tersebut. Instruksi Presiden tersebut ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991, tanggal 22 Juli 1991, meminta kepada seluruh Instansi Departemen Agama, terutama Peradilan Agama dan Instansi Pemerintah lain yang terkait untuk menyebarluaskan KHI dimaksud dan sedapat mungkin menerapkan kompilasi tersebut disamping peraturan perundang-undangan lainnya. Walaupun Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hirarki perundang-undangan, namun setidaknya menjadi dasar awal untuk menerapkan hukum Islam secar nasional.
Wasit Aulawi berharap KHI dapat memenuhi asas manfaat dan keadilan berimbang yang terdapat dalam hukum Islam, mengatasi berbagai masalah perbedaan pendapat untuk menjamin kepastian hukum dan mampu menjadi bahan
Kompilasi lahir sebagai suatu solusi dari kefakuman hukum yang dialami oleh lembaga Peradilan Agama. Keanekaragaman sumber material hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fikih karya ahli hukum Islam klasik menyebabkan terjadi perbedaan dalam penerapan hukum oleh hakim-hakim peradilan Agama. tentunya melahirkan produk hukum yang berbeda disamping pencari keadilan memerlukan suatu kepastian hukum.
Menurut Hasan Basri dalam Mimbar Ulama yang dikutip oleh (A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, bahwa kompilasi hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam
(a) untuk merumuskan secara sistimatis hukum Islam di Indonesia secara konkrit; (b) guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di lingkungan peradilan agama; (c) sifat kompilasi berwawasan nasional yang akan diperlakukan bagi seluruh masyarakat Islam Indonesia apabila timbul sengketa di dalam sidang peradilan agama; (d) sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.[26]
Kehadiran KHI menjadi pedoman hukum materil yang seragam dan menjadi hukum posif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa
Kesadaran hukum nasional yang terkait dengan hukum waris Islam adalah pada tempatnya apabila hak-hak kebendaan (warisan) tidak lagi dibedakan antara hak laki-laki dan hak perempuan, setidak-tidaknya diperlukan asas kesamaan hak. sehingga dapat diterima oleh kerukunan hidup masyarakat bangsa
Akomidasi dan sinkronisasi nilai-nilai hukum waris dari hukum Islam, hukum Adat dan Burgerljik Wetboek (BW) ke dalam KHI sebagai suatu modifikasi hukum Islam berbasis budaya
Subtansi hukum kewarisan dalam KHI, baik oleh kalangan intelektual muslim, maupun di kalangan ahli hukum juga mempunyai persepsi yang berbeda, dalam hal ketentuan bagian masing-masing ahli waris, unsur keadilan, bersifat patrinialistik dan bersifat diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Asas kebersamaan dan asas kerukunan dalam masyarakat
Kewarisan dalam KHI sebgai peruwujudan dari cita-cita hukum dan cita-cita batin umat Islam
Ketaatan hukum lahir dari suatu proses pemberlakuan hukum, yang oleh Soerjono Soekanto dikenal tiga keberlakuan hukum, yaitu keberlakuan yuridis, keberlakun filosofis dan keberlakuan sosiologis[27]. Keberlakuan yuridis bagaimana hukum itu memiliki suatu kepastian, apabila tidak diikuti dengan keberlakuan sosiologis maka hukum sebatas aturan yang tidak mempunyai kemanfatan. Keberlakuan filosofis berarti hukum itu sebatas tataran ide tidak memiliki kemampuan untuk membumi, apabila tidak diikuti dengan keberlakuan legalitas yuridis. Dan keberlakuan sosiologis bagaimana hukum dapat dirasakan manfatnya, apabila tidak didasari pada suatu kepastian dan rasa keadilan hukum.
Penutup
Hukum kewarisan Islam dalam perkembangan sejarah hukum nasional telah mengalami flektuasi, kewarisan islam berlaku sejak masa kerajaan-kerajan kesultanan Islam dan awal penjajahan Belanda. Konsep Snouck Horgronje terutama politik hukumnya menolek teori reception in complex dan diganti dengan teori recepti yang oleh Hazairin disebut dengan teori iblis. Dalam masa kemerdekaan hukum kewarisan Islam masih menjadi tarik menarik untuk diberlakukannya, walupun Pengadilan Agama diberikan kewenagan dalam memeriksa sengketa kewarisan di kalanga orang Islam dan KHI menjadi hukum materilnya, tetapi masih diberlakukan hukum kewarisan peninggalan penjajahan Belanda (BW) menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa kewarisan bagi warga Indonesia yang memilih Pengadilan Negeri (peradilan umum).
[1] Ichtijanto, , Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia dalam Hukum di Indonesia Perkembangan dan Pembentukannya.
[2] Lihat, A. Rahmad Rosyadi dan M. Rais Ahma, 2006, Formaolasi Syari’at Is;sm Dalam Perspektif Tata Hukum
[3]Imam Syaukani, Rekontruksi Epestimologi Hukum Islam
[4] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, loc.cit.
[5] Ibid.
[6] Imam Syaukani, op.cit., h. 68
[7] Ibid.
[8] Sayuti Thalib, Receptie a Contrario, Hubungan Hukum Adat Dengan Hukum Islam,
[10] Asro Sostroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,
[11] Sayuti Thalib, loc.cit.
[12] Imam Syaukani, op.cit., h. 71
[13] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, loc.cit.
[14] Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh,
[15] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., h. 82
[16] Hazairin lebih dikenal dalam bidang ilmu hukum, terlebih dalam hukum adat. Selain itu pengetahuannya tentang tentang hukum Islam juga begitu mendalam. Melalui keahliannya dalam bidang hukum adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas
[17]Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat jajahan (pribumi) adalah hukum adat. Hukum Islam hanya menjadi hukum jika telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.
[18]Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, cet.2 Jakarta: Tintamas, 1968 , h. 5
[19]Teori ini menyatakan bahwa teori Receptie harus keluar dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 (pembukaan dan pasal 29) dan bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Penjelasan Hazairin tentang teori ini lihat H. Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam Djuhana S. Pradja (Pengantar), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan, cet. 2 (Bandung: Rosda Karya, 1994), h. 102 dan 127-131.
[20]Teori ini merupakan kebalikan dari teori Receptie, maksudnya hukum yang berlaku bagi rakyat (pribumi) adalah hukum agamanya. Lihat Ichtijanto, “Pengembangan”, h. 131-136.
[21] Sayuti Thalib, op.cit., h. 15-17
[22]Prinsip-prinsip dalam teori kewarisan bilateral ini hampir sama dengan yang terdapat dalam fiqh Ja’fari. Hanya saja dalam fiqh ini ahli waris pengganti hanya diakui adanya manakala para ahli waris sederajat di atasnya sudah meninggal seluruhnya. Jadi cucu akan tetap terhijab untuk memperoleh warisan dari kakeknya selama masih ada anak.
[23]Hazairin, Hukum Kewarisan, hal. 18 dan 28-36. konsep yang dipandang agak mendekati mawali ini adalah konsep wasiat wajibah yang diberlakukan di beberapa negara Timur Tengah mulai tahun 1946, yaitu: Mesir, Syria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan. Meskipun bentuk dan rinciannya berbeda-beda di antara negara-negara tersebut, namun substansinya sama yaitu mengakui adanya ahli waris pengganti bagi anak (baca: cucu), dan tidak diatur ahli waris pengganti bagi saudara. Bandingkan dengan M. Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam, dalam Muhammad Wahyuni Nafis et. al., Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA., cet 1 (Jakarta: Paramadina-IPHI, 1995), hal.316.
[24]Sajuti Thalib SH, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, cet. 4 Jakarta: Sinar Grafika, 1993, hal. 80-81.
[25] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, h. 82
[26] M. Yahya Harahap, Mimabar Hukum Nomor 5/III.
[27] Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum. cet. I
1 komentar:
salah tulisan bapak. bukan abstarksi tapi abstraksi.. he,he...
Posting Komentar