2. Asas Pemberlakuan Ekonimi Syariah
Kata asas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna dasar (sesuatu yan menjadi tunpuan berpikir atau berpendapat).[1] Dari maka ini maka tidak salah di kalangan ahli hukum Islam sering menyamakan asas hukum dengan sumber hukum.[2]
Peraturan hukum adalah ketentuan konkrit mengandung bagaimana cara bertindak dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hukum merupakan suatu kenyataan dari asas hukum. Wajarlah di antara pakar hukum mengidentikan asas hukum dengan jiwa dari norma hukum. Berarti semua peraturan hukum harus dapat dikembalikan pada asas hukumnya. Dengan kalimat yang sederhana bahwa asas hukum bukanlah kaidah hukum konkrit, tetapi merupakan latar belakang peraturan yang konkrit dan bersifat umum dan abstrak.
- Konsep af’al al mukallafin (pembebanan hukum)
Konsep af’al al mukallaf[3] membicarakan perilaku orang Islam yang telah terkena beban dari segala tuntutan dan tuntutan Allah yang terdapat dalam Alqur’an atau Assunnah (semua perkataan, perbuatan dan kesan-kesan sahabat atas perilaku Nabi SAW yang secara ilmiah dikaitkan kepada Rasulullah SAW)[4].
Konsep mukallaf merupakan perilaku umat Islam bukan hanya hasil pemikiran kontemplasi ulama. Tertapi, dalam konteks berperilaku terdapat pendekatan kultural yang berkaitan dengan adat atau tradisi masyarakat yang sifatnya lokal, yang disebut dengan al ’urf. [5] Di kalangan ahli hukum Islam terutama ahli hukum Islam klasik menjadikan adat sebagai kaidah hukum Islam, al ’adat al muhkamat[6] yang dijadikan landasan berperilaku.
Al ’af al mukallaf dapat teraplikasi dalam perilaku masyarakat yang terkait dengan keberlakuan hukum ekonomi syariah. Dapatkah masyarakat menjadikan sebagai sebuah instrumen untuk menilai suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh orang Islam dalam transaksi syariah.
- Konsep Tazkiyah
Konsep tazkiyah mengandung makna halal dan thayyibah. Halal sebagai standar nilai yang bermakna pembebasan dari segala unsur yang diharamkan. Menurut M. Arfin[7] setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan mencapai kesejahteraan dan kemakmuran dalam bengkai kerindaan Tuhan, maka objek ekonominya harus halal dan dalam proses pengelolaannya tidak mengandung gharar. Pemanfaatannya harus sesuai dengan tuntutan syariah, dilengkapi dengan itikad (niat) yang suci. Sedangkan thayyibah sebgai standar nilai mengandung makna bernfaat untuk kesehatan dan keselamatan
Terdapat dua pandangan yang berbeda dalam menilai sistem ekonomi Islam.[8] Pandapat pertama dan merupakan pendapat umum pelaku ekonomi syariah bahwa sistem ekonomi syaria itu pada prinsipnya adalah ekonomi konvensional, yang oleh ahli hukum ekonomi Islam diberi label nilai Islam. Pendapat kedua memahami konsep ekonomi syariah itu dimulai dari nilai-nilai Islam, (iman, amal dan ikhlas). Iman terkaiat dengan otoritas Tuhan yang menciptakan alam ini beserta isinya. Amal terkait dengan pertanggungan jawab manusia sembagai pengemban khalifah dan pelaksana syariah-Nya. Sedangakan ihsan terkait dengan konsesistensi manusia dalam menempatkan diri sebagai khalifah dan sebagai abdi Allah.
Dari kedua pendapat tersebut pada asasnya memiliki unsur persamaan yaitu unsur kesucian yang disebut dengan tazkiyah. Konsep Tazkiyah menempatkan unsur kehalalan dan kemanfaatan sebagai dasar penilaian boleh tidaknya sebuah produksi dan atau suatu perikatan. Apabila dalam sebuah produksi salah satu tahapan terkontaminasi dengan unsur keharaman maka produksi itu dipandang haram dan tidak layak untuk dikonsumsi. Demikian juga, dalam sebuah perikatan dalam pelaksananaannya tidak sesuai dengan prinsip ekonomi syariah (riba, judi, ketidak jelasan obyek perikatan, objek perikatan barang yang haram).
- Konsep ihsan (benevolence)
Setiap manusia dalam melakukan interaksi dengan sesamanya atau dengan makhluk lain ciptaan Tuhan bahwa interaksi yang dilakukan itu karena dapat diketahui dan dipahaminya[9]. Jika tidak demikian, maka manusia harus menyadari bahwa interaksinya itu dikontrol oleh setiap makhluk Tuhan. Keberadaan Tuhan sebagai sosial kontrol memberikan dampak kepada pelaku ekonomi atau pelaku bisnis agar dapat membedakan mana perilaku ekonomi yang dapat dilegalkan berdasarkan prinsip syariah dan yang tidak dapat dilegalkan menurut prinsip syariah.
Kemapuan hakim untuk menyelesaikan sebuah sengkata ekonomi selain karena kompetensi relatif maupun kompetensi absolut, juga harus sesuai dengan sejaumana kemapuan hakim untuk menguasai sebuah materi hukum baik yang terkait dengan kemampuan dalam hukum prosudural maupun kemampuan menguasai dan memahami hukum ekonomi syariah.
3. Persepsi Masyarakat
Persepesi masyarakat terhadap kompetensi Pengadalian Agama tentang penyelesaian sengketa ekonomi syariah, tentunya tidak terlepas dari pandangan tentang diberlakukan hukum Islam di Indonesia. Perbedaan pandangan antara hukum positif dan Islam masih mewarnai perjalanan sejarah hukum nasional, persoalan dikotomi pemisahan agama dengan negara, dan alasan-alasan yang tidak konstitusional bahwa Indonesia bukan negara agama. Pandangan semacam ini menurut Busthanul Arifin[10] merupakan warisan masa lalu ketika penyusanan UUD Republik Indonesia 1945 umat Islam dikalahkan dengan cara tidak elegan, dengan menghapus kesepakatan dengan cara tidak etis. Akibatnya berlanjut sampai sekarang dengan terpinggirkannya umat Islam yang mayoritas muslimnya terbesar melibihi negara Islam manapun juga.
Pemahaman diketomi hukum antara hukum Islam dengan hukum positif memberikan dampak terhdap pemahaman masyarakat atas keberlakuan hukum ekonomi syariah. Proses penyelesaian sengketa ekonomi syariah dan pelihan hukum tempat penyelesaian sengketa ekonomi syariah, turut menjadi perbedaan pesepsi.
Kendatipun demikian, persepsi masyarakat terhadap hukum tidak bersifat monolitik. Sejumlah variabel sangat memengaruhi cara pandang masyarakat tentang hukum, terutama filsafat dan nilai-nilai.[11] Filsafat dan nilai memiliki kekuatan tidak saja dalam mengkonstruksi persepsi masyarakat tentang hukum, tetapi juga membentuk sikap dan kesadarannya terhadap hukum[12].
Hukum yang didasarkan pada filsafat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law) dijunjung tinggi dan menjadi landasan hidup oleh masyarakat di mana hukum itu berlaku. Demikian sebaliknya, hukum yang bertentangan dengan filsafat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kurang dihormati, kendatipun dipatuhi.[13] Kepatuhan masyarakat terhadap hukum bukan karena wibawa baik buruknya subtansi hukum, tetapi karena kehendak kekuatan yang memaksa dan sanksinya.
[1] Tim Penyusun Kamus, op.cit., hal. 60
[2] Muhammad, op,cit., hal. 25
[3] Kata mukallaf merupakan istilah dalam hukum Islam yang disandarkan pada orang Islam yang mencapai usia pembebanan hukum, yaitu dewasa dan berakal yang dapat membedakan baik dan buruk
[4] Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2007, hal. 90
[5] Al-urf adalah kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang bersifat normatif yang dapat dijadikan titiktolak berperilaku. Ibid., hal. 94. Amir Syarifuddin membedakan ‘adat dengan ‘urf, adat hanya mengandung dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan dan tidak meliputi mengenai segi baik dan buruknya perbuatan itu (bekonotasi netral). Sedangkan ‘urf digunakan dengan memandang pada kualitas perbuatan yang dilakukan yaitu diakui, diketahui dan diterima oleh orang banyak. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh. Jilid 2, Kencana, Jakarta, 2008, hal. 364
[6]Ibid.,370
[7] M. Arfin Hamid, Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia Aplikasi dan Prospeknya, Ghalia Indonesia, Bogor, 2007, hal, 84
[9] Sembahlah Tuhanmu seakan-akan kamu melihat-Nya, apabila kamu tidak melihat-Nya maka haru diyakini bahwa Tuhanmu melihat kamu. Hadis
[10] Busthanul Arifin, op.cit., hal. 323
[11]Tituts et.el. Persoalan-Persoalan Filsafat dalam Muhammad, loc.cit.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar