Senin, 08 Desember 2008

Kewenangan Peradilan Agama

B. Kompetensi Peradilan Agama dalam Sejarah Hukum Nasional

Indonesia mewarisi hukum dari berbagai sumber, disamping hukum lokal (hukum adat) terdapat suber hukum eksternal yang datang dari baik dari islam, maupun hukum Eropah ( Belanda). Dominasi hukum Belanda dengan tradisi civil law system-nya denmgan penempatan negara sebagai sumber hukum, dalam arti bahwa pengundangan dan penerapan hukum oleh negara memiliki kedudukan yang menentukan dalam penyelenggaran hukum dalam masyarakat[1]. Civil law system menempatkan negara sebagai satu-satunya pemegang hak monopoli dalam memberlakukan hukum dalam kehidupan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, bahwa hukum-hukum Belanda yang diberlakukan semasa pemerintahan kolonial di Indonesia mempunyai watak dan pengaruh politik yang nyata dan mendalam. Realitas ini berlaku sampai zaman kemerdekaan Indonesia, bahkan menjadi sumber utama hukum nasional[2]. Hukum Islam yang secara damai memasuki Indonesia, dengan sifat asimilatif dan akomodatif dalam menghadapi unsur-unsur hukum lokal, mengalami perubahan baik secara prosudural maupun subtansial dihadapan hukum kolonial.

1. Sebelum Masa Pemerintahan Belanda

Telah banyak kerajaan Islam di Nusantara seperti kerjaan Pasai, Demak, Cirbon, Buton dan Ternate yang memberlakukan hukum Islam. Paham yang dianut (legal system) pada umumnya bermazhab Syafi’i. Kerjaan tersebut telah menerapkan norma-norma hukum Islam dan masyarakat memberlakukannya. Pemberlakukan hukum Islam oleh kerajaan Islam tersebut tidak parsial. Sesuai dengan terori penerima otoritas hukum Islam yang dijelaskan oleh AR. Gibb dalam bukunya The Modern Trends in Islam yang dikutip A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad[3], bahwa orang-orang Islam menaati hukum Islam karena diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nyai. Oleh karena itu, apabila mereka telah menerima Islam sebagai agamanya, maka mereka akan menerima otoritas hukum Islam terhadap dirinya. Bagi orang Islam, hukum Islam adalah kehendak dan tatan Allah dan tradisi rasul[4]. Demikian pula teori krido, atau teopri syahadat yaitu teori yang mengharuskan pelaksanaan hukum Islam oleh mereka yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat sebgai konsekuensi logis dari pengucapan kredonya[5].

Dilihat dari sudut penetaan hukum Islam, melaksanakan syari’at Islam yang dilengkapi dengan institusi-institusi keagamaan, seperti Pengadilan Agama merupakan fardu kifayah (kewajiban sosial). Karenanya, pada kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan tersebut selalu membentuk badan-badan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum acara peradilan Islam (mukhasamat). Hal ini merupakan salah satu pendekatan syariat Islam. Dari sinilah, kerajaan dan kesultanan itu menerapkan hukum Islam … sebagai hukum yang hidup (living law) di masyarakat sekaligus menjadi budaya hukum Indonesia pada masanya[6]. Selanjutnya dikatakan bahwa Pengadilan Agama dimasa kerajaan dan kesultanan pada waktu itu sudah menunjukkan keberhasilannya dalam menyelesaikan perkara kewarisan …orang-orang Islam[7].

Menurut Imam Syaukani[8] biasanya pemberlakuan hukum Islam pada kerjaan-kerjaan Islam itu sangat bergantung pada mazhab yang dianut oleh para Sultan tersbut. Selanjutnya dikatakan walaupun pemberlakuan Islam berdasarkan pada mazhab yang dianut oleh para Sultan, tetapi hukum Islam telah mengubah pola pemikiran dan cara pandang kesadaran masyarakat Indonesia sehingga menjadikannya sebagai adat dan perilaku keseharian.

Misalnya masyarakat Aceh menyatakan, hukum Islam adalah adatnya, adatnya adalah hukum Islam. Di Minangkabau berlaku kaidah, adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Demikian juga di Pulau Jawa, pengaruhnya sangat kuat sehingga Alqur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas telah dijadikan ukuran kebenaran ilmiah dan pedoman perilaku. Kerajaan dan kesultanan Islam saat itu telah berhasil mempengaruhi kebeeragamaan masyarakat Indonesia untuk menjalankan syariat Islam[9].

2. Masa Pemerintahan Belanda (Penjajahan)

Hukum Islam yang diterima secara damai dengan sifat asimilatif dan akomodatif menghadapi unsur-unsur hukum lokal diterima dan berlaku di kalangan bangsa Indonesia ditundukan oleh kekuasaan kolonial Belanda.

Salah satu kebijakan pemerintah Hindia Belanda dalam menyahuti pemikiran dan implimentasi hukum Islam adalah merumuskan dan menformulasikan teori-teori yang berkenaan dengan cita-cita hukum dan adat masyarakat Indonesia. Di antara teori yang dikenal luas adalah:

1); teori receptie in complexu oleh Lodewijke Willwm Christian van den Berg pada tahun 1884 menulis buku dengan nama Muhammadagch recht (Asas-Asas Hukum Islam) menyatakan hukum Islam berlaku bagi orang-orang Islam Indonesia walaupun dengan sedikit penyimpangan-penyimpangan[10]. Pendapat van den Berg ini dikenal dengn teori recetio in complexu.

Teori ini merupakan rumusan hasil pergulatan pemikirannya, setelah memperhatikan dan mencermati fakta-fakta hukum yang terjadi pada masyarakat pribumi. Kemudian, van den Berg mengonsepkan Staatsblat 1882 Nomor 152 yang berisi ketentuan bagi rakyat pribumi atau rakyat jajahan berlaku hukum agama di lingkungan hidupnya. Ketentuan ini diberlakukan berdasarkan Koninklijk Besluit Nomor 24 (dalam staatsblat Nomor 152 Tahun 1882) dan berlaku sejak tnggal 1 Agustus 1882) dibentuk pengadilan agama di Jawa dan Madura dengan sebutan Bepaling betreffende de Priesterraden op Java en Madoera[11]. Keputusan tersebut lebih bersifat administratif dan prosudural, walaupun dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala finasial dan administratif. Walaupun demikian, kebijakan tersebut masih menguntungkan karena hukum Islam diterapkan bagi pemeluk agama Islam. Sehingga bagi rakyat jajahan yang beragama Islam di Indonesia berlaku hukum Islam. Bagi badan-badan peradilan agama, ketika pemerintah Hindia Belanda datang ke Indonesia sudah melaksanakan hukum agama Islam, tetap dilanjutkan dan diakui kewenangan hukumnya[12].

Pemeritahan Gubenur Daendels, anggapan umum bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedangkan Reffles mengira hukum adat itu tidak lain hukum Islam[13]. karena pandangan pemerintah Belanda bahwa hukum Islam adalah hukum asli Indonesia, maka ditetapkan Regering Reglemen (Staatsbalat 1884 Nomor 129 di Negeri Belanda jo Staatsblat 1885 Nomor 2 di Indonesia) terutama diatur dalam Pasal 75, pasal 78 jo pasal 109 Reglemen tersebut, waktu dikenal dengan Receptio in Complexu.

Subtansi ketiga pasal tersebut adalah setiap sengketa antara orang-orang Indonesia yang beragama Islam diberlakukan hukum Islam. Hukum agama, adat dan ke biasaan itu juga dipakai oleh hakim Eropa pada pengadilan yang lebih tinggi. Sengketa antara orang Indonesia atau dipersamakan dengan itu dipakai harus tunduk pada keputusan hakim agama menurut hukum agama. Demikian bagi orang Arab, Moor dan orang Cina yang dipesamakan dengan orang Indonesia ada baik yang beragama Ismlan maupun bukan beragama Islam diberlakukan dengan hukum yang sama[14].

Dari ketentuan peraturan dan undang-udang tersebut, menurut Muhammad Ali Daud[15] bahwa tanpak dimasa pertama pemerintahan Hindia Belanda, hukum Islam itu diakui eksistensinya sebagai hukum positif yang berlaku bagi orang Indonesia terutama mereka yang beragama Islam, dan perumusan-perumusan, ketentuan-ketentuan itu dalam perundang-undangan ditulis satu nafas dan sejajar dengan hukum adat, bahkan sejak zaman VOC pun keadaan ini telah berlangsung demikian juga seperti terkenal compendium freijer[16]. dapat juga dikatan hukum adat dapat diberlakukan jika diresepi atau diterima oleh hukum Islam.

Cornelis van Vollenhoven yang dikenal ahli hukum adat Indonesia, dia membagi hukum adat atas 19 persekutuan hukum adat, mengiritik dan menyerang pasal 75, 78 dan 109 RR Staatsblat 1855 No 2 itu, dan van den Berg juga turut dikritik dan diserang atas teori recetio in complexu itu.

2); teori receptie oleh Chritian Snouck Hoergronje, penasehat Pemerintah Hindia Belanda tentang masalah-masalah Islaam dan anak negeri. Memperkuat kritikan van Vollenhomen terhaap teori receptie in complexu Menurut Snouck Horgronje, hukum yang berlaku bagi orang-orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku apabila telah diresepsi oleh hukum adat. Pendapat Snouck Horgronje ini disebut dengan teori receptie Jadi adatlah menentukan ada tidaknya hukum Islam[17].

Pendapat Snouck Horgronje tersebut merobah pandangan politik hukum Hindia belanda, Perubahan atas Staatsblat 1855 No.2 diganti dengan Indische Staats Regeling (staatsblat 1925 No. 416) disusul dengan Staatsblat No. 1929 No. 221 dimana dinyatakan hukum Islam tidak lagi mempunyai kedudukan yang tersendiri. Hukum Islam baru dianggap berlaku sebagai hukum apabila telah memenuhi dua syarat.

Pertama: Norma Hukum Islam itu harus diterima terlebih dahulu oleh hukum kebiasaan (adapt masyarakat setempat). Kedua: Kalaupun sudah diterima oleh hukum adat, norma dan kaidah hukum Islam itu juga tidak boleh bertentangan ataupun tidak boleh telah ditentukan lain oleh ketentuan perundang-undangan Hindia Belanda.

Demikian pula staatsbal 1882 No. 152 dimana Pengadilan Agama mempunyai kewenagan memeriksa perkara perkawinan dan kewrisan diganti dengan Staatsblat 1937 No. 116, hukum waris dihapus dari kewenangan Pengadilan Agama. Kompensasinya dibentuk pengadilan tingkat banding di Pulau Jawa dan Madura dengan Staatsblat 1937 No. 610. dan Pengadilan Agama Kalimatan Selatan dekeluarkan Stbl 1937 No. 638 dan Stbtl 1937 No. 639 tentang Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar.

Menurut Alfian sebagai editor[18]) teori receptie berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropah, maka penjajahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncangan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memeberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintah.

3. Masa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

Masa setelah kemerdekaan Indonesia kompetensi Peradilan Agama dibagi atas empat priode.

a. Tahun 1945-1957

Pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan diri merdeka, dan pada tangga 18 Agustus 1945 hasil rumusna rancngan Udang-Undang Dasar oleh Panitian Persiapan Kemerdekaan Indonseia (Panitia sembilan) disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945. Dengan Indonesia medekan berpengaruh terhadap sistem hukum di Indonesia.

Dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa, keuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamahh Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Sedangkan pada ayat (2) Pasa; 24 disebutkan bahwa susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan udang-undang.

Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (2) UUD Tahun 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman itu dilakukan dengan suatu kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh dan turut campurnya kekuasaan pemerintah. Untuk Peradilan Agama berdasarkan Pasal 24 tersebut belum pernah diatur dengan undang-undang tersendiri[19].

Pada Tahun 1948 pernah dikeluarkan UU No. 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman dimaksudkan untuk menyususn peradilan secara integral, akan tetapi UU tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku. Dalam tahun 1951 dikeluarkan UU Darurat No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan Sipil. Peradilan Agama ditetapkan sebagai bagian dari Peradilan Swapraja, tertutama bagi daerah selain Jawa dan Madura serta Kalimantan Selatan.

Sesuai Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang 1945 ditekanankah bahwa hukum warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Hazairin memahami pasal tersebut bahwa hukum kolinial Belanda yang hasil pruduk teori receptie dianggap tidak berlaku lagi harus exit karena bertenatangan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul (teori receptie exit)[20].

Perkembangan selanjutnya ahli hukum Islam Indonesia berusaha agar bagaiamana sehingga hukum Islam itu menjadi hukum nasional, uapaya seminar nasional dalam pembentukan hukum, hukum Islam dijadikan sebagai salah satu sumber di samping hukum Eropah dan hukum Adat. Dengan populasi warga Naegara Indonesia mayoritas beragama Islam, dan dalam mememahami ajaran agamanya bersifat totalitas. Karena itu, tidak boleh dipisahkan nilai-nilai hukum Islam dari doktrin agama Islam.

Dalam memahami keyakinan tersebut menurut Sayuti Thalib[21]) bahwa 1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; 2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita moral; 3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Pendapat Sayuti Thalib ini kontradiksi dengan teori receptie, sehingga pendapatnya dikenal dengan teori receptie a contrario.

Hukum waris berdasarkan Staatsblat 1936 No. 116 jo Staatsbglat 1936 No. 610 yang menghapus hukum waris dari kewenangan Pengadilan Agama di Pulau Jawa dan Madura, serta Pengadilan Agama di Kalimantan Selatan. Kedua Staatsbalt tersbut dipandang tidak sesuai dengan cita-cita hukum dan cita-cita bantin umat Islam sebagai mayoritas penduduk bangsa Indonesia, maka pada tahun 1957 Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Aama dan Mahkamahh Syariah di luar Jawa dan Madura serta Kalimatan Selatan, dengan kewenangan dalam bidang perkawinan dan kewarisan.

b. Tahun 1957- 1974

Sebelum lahir UU No. 14 Tahun 1970, terdapat rechtsvacuum mengenai wewenang tingkat kasasi Peradilan Agama (Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi, 2005: 33). Dengan dasar kefakuman hukum itu, Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 10 Tahun 1963 yang memberi wewenang dan kewajiban kepada Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama yang pada waktu itu dikenal Jawatan Peradilan Agama untuk melaksanakan tugas peradilan agama tingkat kasasi. Keputusan Menteri Agama tersebut dinyatakan tidak berlaku dan dicabut dengan Keputusan Menteri Agama RI No. 28 Tahun 1972 , setelah berlaku UU No. 14 Tahun 1970.

Dalam UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan, Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Pearadilan Tata Usaha Negara. Pasal 10 ayat (2) (3) dan (4) disebutkan bahwa Kasasi berada di tangan Mahkamah Agung untuk semua lingkungan Peradilan Negara. Berdasarkan Pasal 12 UU No. 14 Tahun 1970 disebutkan susunan kekuasaan dan acara dari badan-badan peradilan tersebut berada diatur dalam undang-undang tersendiri.

Berdasarkan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut Peradilan Agama disederajatkan dengan ketiga sistem peradilan lainnya, walaupun undang-undang tentang Peradilan Agama dikeluarkan pada Tahun 1989. Namun demikian, pada tahun 1974 dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang memberikan kewenangan Peradilan Agama untuk memeriksa perkara-perkara yang berhubungan persoalan perkawinan bagi warga Negara yang beragama Islam. Sebagaiman dalam Pasal 63 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peradilan Agama dalam undang-undang ini ialah

  1. Peradilan Agama bagi mereka yang beragama Islam
  2. Peradilan Umum bagi yang lainnya.

Baik undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman maupun undang-undang Perkawinan menempatkan Peradilan Agama sama dengan ketiga peradilan lainnya, namun pada Pasal 63 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa setiap keputusan Pengadilan Agama dibutuhkan dikukuhkan oleh Pengadilan Negeri, walaupun pengukuhan tersebut sebatas persoalan adiminstratif. Hal ini menunjukkan bahwa Peradilan Agama tidak setara dengan ketiga peradilan lainnya. Keadaan ini menurut Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi[22], memperlihatkan masih adanya pengaruh teori receptie.

c. Tahun 1974-1989

Dengan diberlakukan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkkan keberadaan lembaga Peradilan Agama semakin kuat. Tetapi dalam periode ini Peradilan Agama masih belum sempurna karena tidak diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengeksekusi putusannya, masih membutuhkan adanya pengukuhan Putusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri.

Keadaan ini berlaku sampai diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dimana tidak ada perbedaan kewenagan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimatan Selatan dengan Pengadilan Agama di luar kedua wailayah itu.

d. Tahun 1989-2006

Undang-Undng No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan landasan juridis yang kuat, walaupun dalam proses penetapannya memakan waktu satu tahnu dari tanggal 28 Januari 1989 sampai tanggal 14 Desember 1989.

Dengan penetapan UU No. 7 Tahun 1989 tersebut menempatkan Peradilan Agama sama dengan dengan lembaga peradilan lainnya. Tetapi dalam hal kompetensi untuk menyelesaikan perkara waris tidak sepenuhnya diberikan kewenagan itu, masih ada pilihan hukum bagi pencari keadilan.

Setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1989 telah dikeluarkan tiga peraturan yaitu:

a. Surat Edaran Mahkamah Agung No. Tahun 1990 tanggal 12 Maret 1990 tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan sesuai Pasal 84 ayat (4) UU No. 7 Tahun 1989

b. Surat Edaran Menteri Agama No. 2 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU No. 7 Tahun 1989, dan

c. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebar-luasan Kompilasi Hukum Islam[23].

Tuntutan reformasi di bidang hukum memberikan dampak yang besar terhadap perubahan lembaga peradilan di Indonesia. Kekuasaan kehakiman yang sebelumnya pembinaan justisial di bawah Mahkamah Agung dan pembinaan organisasi dan adminstrasi di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Departemen Pertahanan dan Keaman.

Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 35 Tahun 1999 dan diubah dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 11 UU No. 35 Tahun 1999 disebutkan:

(1) Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (1) secara organisatoris, administrative, dan finasial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.

(2) Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan financial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-masing. Pada Pasal 11 tersebut ditambah satu pasal yaitu Pasal 11 A disebutkan

(1) Pengalihan organisasi, administrasi dan financial sebagimana dimaksudkan dalam Pasal 11 ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, paling lama lima tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku.

(2) Pengalihan organisasi, administrasi dan financial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Tidak ada lemit waktu pengalihan Peradilan Agama organisasi, adiministrasi dan finansial selain karena terjadi tarik ulur kepentingan politik, juga karena masih terjadi polarasasi dalam menerima hukum Islam menjadi bagian dari integral sistem hukum nasional.

Berdasarkan penjalasan pasal demi pasal, dalam Pasal 1 angka 1 ayat (2) b disebutkan bagi Peradilan Agama dalam memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf, sedekah.

Perubahan UU No. 35 dengan UU No. 4 Tahun 12204 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 10 ayat (1) disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ayat (2) disebutkan badan peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Pengalihan badan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 yang menetapkan bahwa organisasi, administrasi dan financial pada Badan Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/Mahkamah Syariah Propinsi dan Pengadilan Agama berada di bawah Mahkamah Agung.

Dengan terjadi perubahan UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No. 35 Tahun 1999 dirubah lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, disusul dengan perubahan atas UU No. 14 Tahun 1985 dengan UU No. 5 Tahun 2004 telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut bidang teknis yudisial maupun bidang non teknis yudisial … berada di bawah Mahkamah Agung[24].

Perubahan kedua undang-undang tersebut membawa konseksuensi terhadap peraturan perundang-undangan yang menyangkut dengan badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Bagi Peradilan Agama pada tahun 2006 diadakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 dengan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, hasil dari perubahan diantaranya, Pasal 3 disispkan Pasal 3A disebutkan di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan peradilan yang di atur dengan Undang-Undang. Pengalihan fungsi pengawasan dan pembinaan organisasi, administrasi dan financial ke Mahkamah Agung, dan perubahan sekaligus penambahan kompetensi Peradilan Agama Pasal 49 bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antra orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, sadaqah dan ekonomi syariah.

Dalam penjalasan Pasal 49 bahwa penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syariah, melainkan juga di bidang ekonomi syariah lainnya. Selanjutnya berdasarkan penjalasan pasal ini yang dimaksudkan dengan antara orang-orang yang beragama Islam adalah termasuk orang atau badan hukum dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan pasal ini.

Apabila akan terjadi sengketa antara subyek hukum yang berlainan agama dan difasilitasi dengan lembaga penundukan diri[25]. Artinya hukum yang badan hukum yang dirikan bersifat umum, atau persorangan yang beragama selain Islam dapat menundukkan diri kepada hukum Islam dalam terjadi sengketa di bidang bisnis atau ekonomi syariah.[26]


[1] Editor, Dadan Muttaqien, Sidik Tono dan Amir Mu’allim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. UUI Press, Yogyakarta, 1999, hal. 28.

[2] Ibid., hal. 29

[3] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, Formalisasi Syari’at Islam Dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Ghaliah Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 74

[4] Ibid.

[5] Imam Syaukani, loc.cit.

[6] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., hal. 74

[7] Ibid.

[8] Imam Syaukani, op.cit., hal 68

[9] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, loc.cit.

[10] Sayuti Thalib, loc.cit.

[11] Editor, Dadan Muttaqien, Sidik Tono dan Amir Mu’allim, op.cit., hal. 26

[12] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., hal. 76

[13] Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal.11

[14] Sayuti Thalib, loc.cit.

[15] Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1982, hal. 101

[16] Imam Syaukani , op.cit., hal. 71

[17] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., hal. 74

[18]Alfian, Editor, Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, LP3S, Jakarta, 1977, hal. 207-209

[19] Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peadilan Agama di Indonesia, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2005, hal. 31

[20] A. Rahmat Rosyadi dan M. Rais Ahmad, op.cit., hal. 82

[21] Sayuti Thalib, op.cit., 15-17

[22] Sulaikin Lubis, Wismar ‘Ain dan Gemala Dewi, op.cit., hal. 33

[23] Ibdi., hal. 36

[24] Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia. Rafika Aditama, Bandung, 2007, hal. 3

[25] Ahmad Kamil, M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 2

[26] Ibid..

Tidak ada komentar: