Senin, 08 Desember 2008

Perspektif Peradilan Agama

F. Hukum Pembuktian

Ada dua macam produk peradilan, yaitu penetapan dan keputusan, penetapan bermuara kepada kebenaran sedangkan keputusan bermuara kepada keadilan.[1] Kedua produk peradilan tersebut ditempuh dengan proses hukum formil. Karena bagaimanapun ’’kebenaran sebuah penetapan atau keadilan sebuah keputusan tidak didasarkan kepada sebuah proses hukum formil melahirkan penetapan atau keputusan yang ambiguity.

Hukum pembuktian sebagai bagian dari hukum formil sangat menentukan kebenaran sebuah fakta hukum. Produk pengadilan baik penetapan maupun keputusan ditempuh dalam sebuah proses pemeriksaan perkara yang didalamnya terdapat sebuah tahapan pembuktian. Pembuktian secara global merupakan sebutan segala sesuatu yang menjelaskan dan mengungkapkan kebenaran.[2]

Di dalam HIR Pasal 16/R.Bg Pasal 283 dikatakan bahwa setiap orang yang menurutnya mempunyai satu hak atau suatu perbuatan untuk mempertahankan haknya, atau menangkis hak orang lain, maka harus membuktikan adanya hak itu atau perbuatan itu.[3] Untuk membuktikan kebenaran selain akta autentik harus juga didukung dengan dua orang saksi, atau empat orang saksi dalam masalah zina, atau seorang saksi yang mempunyai integritas pribaddi kesalehan yang menurut hukum tidak terhalang haknya untuk menjadi saksi atas nama dua orang.[4]

Di dalam hukum pembuktian Islam dikatakan penggugat berkewajiban untuk membuktikan suatu hak atau suatu perbuatan yang menjadi dasar tuntutannya. Sedaangkan Tergugat menginkari tuntutan hak atau perbuatan yang ditutujukan kepadanya dengan mengikrarkan sumpah di depadan pengadilan.[5] Pembebanan pembuktian atas Penggugat untuk mendapatkan hukum yang sesuai dengan petitum gugatannya. Hukum pembuktian menempatkan sebuah fakta hukum untuk menemukan bukti-bukti yang membenarkan dalil-dalil gugatannya.

G. Prespektif Hakim Peradilan Agama

Pelimpahan sengketa ekonomi syariah kepada lembaga Peradilan Agama memberikan konsekuensi bagi hakim di linngkungan Peradilan Agama untuk membinahi diri, baik dari segi kemampuan intelektual, profesionalisme, integritas moral dan independensi dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.

1. Pengetahuan Hakim

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak terhadap berbagai kehidupan umat manusia. Tidak ada sekat yang memberikan peluang bagi hukum terlepas dari ilmu pengetahuan lainnya (independence knologi). Oleh karena itu menurut Abdul Manan[6] hakim Peradilan Agama haruslah mempunyai kadar ilmu pengetahuan yang cukup, tidak hanya mengetahui ilmu hukum Islam saja tetapi juga harus mengetahui hukum umum dan perangkat hukum yang berlaku serta mampu mengimbangi perkembangan hukum itu sendiri dalam arus globalisasi seperti sekarang. Dengan pengertian lain hakim Peradilan Agama haruslah mempunyai wawasan yang luas terhadap ilmu pengetahuan dan mempunyai kecerdasan secara akademis untuk mengantisipasi berbagai problem hukum dalam melaksanakan tugasnya.

Kemapuan hakim dalam menyelami sebuah perkeara selain pengetahuan hakim, juga hakim itu seorang ahli ijtihad[7], untuk menggali atau menyelami aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan perkara yang diperiksanya. Dalam hal ini hukum Islam menempat hakim yang mampu berijtihad sebagai prioritas utama, walaupun di kalangan ahli hukum Islam terutama empat ahli hukum Islam[8] yang oleh umat Islam menjadikan pendapat mereka sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan permasalahan sosial keagamaan.

Menurut Imam Syafi’i[9] seorang hakim itu harus ahli ijtihad, pendapat yang sama dikemukakan oleh Abdul Wahab dari mazhab Maliki. Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal[10] keputusan hakim yang bukan ahli ijtihad dibolehkan. Kecakapan, kecerdasan, dan ketepatan hakim dalam memutuskan suatu perkara tentunya didasarkan pada seberapa jauh kebenaran fakta-fakata yang dikemukakan oleh pihak berperkara. Keterbatasan pengetahuan dapat menimbulkan ketidak tepatan dalam pengambilan keputusan[11].

Hakim Peradilan Agama untuk memeriksa sebuah perkara harus menyadari sepenuhnya bahwa menegakkan keadilan adalah suatu kewenangan Tuhan yang diamanatkan kepadanya. Untuk itu harus memahami sifat-sifat hukum Islam. Ada lima sifat hukum Islam[12] yang melekat pada dirinya sebagai sifat asli, yaitu bidimenansional, adil, individualistik dan kemasyaakatan, komprehensif dan dinamis.

Sifat bidimenansional, karena hukum Islam mencakup hubungan vertikal (hablun min Allah) dan hubungan horizontal (hablun minan naas). Dalam pandangan Islam menurut Muhammad Tahir Azahary[13] eksistensi manusia tidak beerdiri sendiri. Titik senteral kehidupan manusia dan alam semesta adalah Tuhan dalam doktrin Islam adalah Allah. Manusia dan alam semesta ada dalam genggamanNya. Keterkaitan manusia dan alam semesta serta makhlukNya ada dalam hubungan vertikal dan horizontal.

Hubungan vertikal adalah keterkaitan manusia sebagai abdi (hamba), sedangkan hubungan horisontal keterkaitan manusia sebagai khalifah yang mempunyai tugas untuk memakmurkan bumi. Manusia sebagai abdi memiliki tugas untuk menyebah dan meminta sekaligus mempertanggungjawabkan segala aktifitasnya sebagai khalifah. Karena manusia pada satu sisi sebagi abdi dan di sisi lain sebagai khalifah maka sifat dimenansional mengandung unsur Ilahiyah dan insaniyah (manusiawi).

Karena itu, bagi setiap hakim dalam mengimplementasi hukum ekkonomi Islam (ekonomis syariah) bukan hanya mengandung makna sosial dalam arti aindividu dan kelompok yang memperoleh jaminan dan perlindungan hukum mengenai hak-haknya, tetapi juga mengandung ubudiyah[14] sebagai pertanggungan jawab kepada Allah atas putusan yang ditetapkan.

Sifat adil dalam hukum ekonomi Islam tercermin dalam sistem hukum jual beli (al bai’a) yang tercermin dalam praktek baik dialakoni oleh individu, maupun oleh kelompok dalam bentuk usaha bersama. Namun, dalam perilaku ekonomi memeliki tanggung jawab sosial dan beban moral kemasyarakatan. Tanggung jawab sosial dan beban moral memeliki kewajib untuk memberikan santunan berupa zakat, infak, sedakah, hibah dan wakaf untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang merupakan lembaga-lembaga sosial Islam.[15]

Sifat individualistik dan kemasyarakatan, dari sudut hukum ekonomi Islam memberikan posisi bagi manusia baik sebagai persorangan maupun sebagai kelompok kemasyarakatan memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan hidup baik untuk memenuhi kebuthan pribadi, keluarga maupun kelompok masyarakat merupakan kewajiban sosial. Allah telah memerintahkan kepada setiap orang atau kelompok yang mempunyai kecerdasan spritual apabila telah selesai melakukan penyembahan, maka menyebar di seanturo bumi untuk mencari harta kekayaan.[16]

Sifat komfrehensif, hukum ekonomi Islam menganut kepemilikan indvidual dan kolektifitas. Hukum ekonomi Islam menempatkan orang sebagai subyek ekonomi dan berkewajiban untuk meletakan norma hukum maupun moral ekonomi. Sistem ekonomi yang dibangun bersifat washatha, tidak bersifat individualistik seperti sistem ekonomi kapatalisme dan tidak sosialis seperti sistem ekonomi sosialisme. Setiap kepemilikan harta kekayaan pribadi terdapat hak-hak sosial, dan setiap kepemilikan harta kekayaan kolektif terdapat hak-hak pribadi.

Hukum ekonomi Islam memposisikan harta kekayaan sebagai investasi ganda, di satu sisi untuk pemenuhan hidup pribadi, keluarga dan kelompok masyarakat, di satu sisi yang lain investasi ibadah, berupa zakat, infak, sadakah, hibah, wakaf, korban dan syarat untuk melaksanakan haji. Karena hukum Islam menempatkan kekayaan sebagian bagian dari sarana ibadah, maka setiap usaha ekonomi harus memenuhi syarat keshahian.[17] Syarat keshahihan sebagai nilai ukur untuk menentukan kebolehan melakukan transaksi bisnis.

Dalam sejarah peradilan Islam kemapuan pengatuan hakim merupakan salah satu unsur untuk menentukan batas kewenangan seorang hakim. Di masa kekuasaan Bani Abbasiah pengangkatan hakim dibatasi oleh tempat, tugas, waktu dan kewenangannya.[18] Ada hakim yang diangkat dengan kewenangan menyelesaikan perkara tertentu, sampai kepada seberapa rumitnya suatu perkara. Bahkan didasarkan kepada pengetahuana hukum hakim yang terkait dengan perkara tertentu. Menurut Abu Abdullah Al Anshari di Basrah selalu diangkat hakim di Masjid Jami, yang disebut hakim masjid berwenang menyelesaikan perkara perdata yang tidak melebihi dua ratus dirham dan menentukan nafkah.

Kemampuan hakim dalam memilah kebenaran sebuah ”fakta hukum” terletak pada sejauhmana pengetahuan hukum hakim. Petunjuk Rasullah SAW kepada umat Islam agar jangan mengangkat hakim yang tidak mempunyai pengetahuan hukum.[19]

2. Profesionalisme

Menurut Magnis Suseno[20] profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan mengandalkan suatu keahlian khusus. Senda dengan pandangan Magna Suseno, E. Somaryono profesi adalah suatu jabatan yang disandang oleh seseorang dengan mempunyai pengetahuan khusus yang diperolehnya melalu pelatihan atau pengalaman atau memperoleh melalui keduanya.[21] Sedangkan profesionalisme merupakan suatu persyaratan yang diperlukan untuk menjabat suatu pekerjaan (profesi) tertentu yang melaksanakan memerlukan ilmu pengetahuan, keterampilan, wawasan dan sikap yang mendukung (komitmen) sehingga pekerjaan profesi tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.

Dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi konflik antara individu dengan individu lainya. Konflik di antara individu sering tidap dapat diselesaikan oleh pihak yang terkait. Untuk menyelesaikannya dapat dibutuhkan campur tangan institusi khusus yang memberikan penyelesaian imparsial. Penyelesaian itu, tentunya harus berdasarkan pada patokan-patokan yang berlaku secara objektif. Lembaga peradilan memiliki fungsi ini, yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan, penilaian dan memberikan keputusan terhadap konflik, kewenangan demikian dikenal dengan kekuasaan kehakiman[22] yang dilakukan oleh hakim.

Menurut Suhrawardi K.Lubis[23] agar hakim dapat menyelesaikan masalah yang dihadapkan kepadanya secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari pemerintah. Hakim dalam mengambil keputusan terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum menjadi landasan yuridis keputusannya. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja, yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis[24] hakim memiliki kekuasaan yang luas terhadap para pihak (yustiabel) berkenaan dengan masalah yang dihadapkan kepadanya.

Hakim dalam menjalankan tugas sepenuhnya memiliki tanggung jawab yang besar dan dapat menyadari tanggung jawab itu. Sebab keputusan hakim menurut Arif Sudarta yang dikutip oleh Suhrawardi K. Lubis[25] membawa akibat yang sangat jauh pada kehidupan para yustiabel dan atau orang lain terkena jangkauan keputusan itu. Selanjutnya dikatakan bahwa keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan pendiritaan lahir dan batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnya.

Dalam perjalanan sejarah peradilan Islam, di masa Umar bih Khattab menjadi khalifah telah meletakkan pedoman dasar bagi peradilan yang dijadikan pedoman oleh setiap hakim dan sampai sekarang masih tetap akses. Di antaranya adalah hakim harus memahami subtansi gugatan atau aduan yang diajukan, dan berikanlah putusan setelah terbukti kebenaran gugatan atau aduan itu, sesungguhnya tidak ada manfaat sebuah pembuktian kebenaran yang tidak mendapat perhatian hakim.[26] Pada item yang lain dikatakan pergunakanlah nalar (kemapuan intelektual) pada suatu gugatan atau aduan yang tidak ada dasar hukumnya dalam Alqur’an dan Sunnah Rasulullah saw., kemudian qiyas-kan (analogikan) unsur-unsur dalam gugatan atau aduan itu satu sama lain sehingga ditemukan hukum yang hampir sama, dan ambillah hukum yang lebih sama dengan kebenaran.[27]

Profesionalisme hakim terletak pada sejauhmana kemapuan intelektual dan kepampuan spritual hakim dalam menilai sebuah kebenaran. Karena itu, Rasulullah saw., mengingatkan kepada setiap orang muslim bahwa bekerjalah (beramallah) seakan-akan kamu melihat Allah, apabila kamu tidak melihat Allah yakinlah bahwa Allah pasti melihat kamu.

3. Integritas Hakim

Di dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.[28] Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata integritas diartikan dengan mutu, sifat atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran.[29]

Ahmad Ali[30] menginstresing integritas dengan kewibawaan dan kejujuran, yang bernuansa kebebasan dan kedaulatan. Menurutnya integritas adalah persoalan moral yang berhubungan dengan kejujuran dan keteladanan. Dia bersandar pada pendapat Stephen L. Carter[31] bahwa:

Apabila saya menyebut integritas, saya mempunyai sesuatu yang amat sederhana dan sangat jelas di pikiran. Integritas, sebagaimana yang akan saya gunakan sebagai istilah, membutuhkan tiga langkah:

1. Membedakan apa yang benar dengan apa yang salah

2. Melaksanakan apa yang telah Anda kaji itu, bahkan bila menderita rugi,

3. Mengatakan secara terbuka bahwa Anda sedang melaksanakan berdasarkan pemahaman Anda mengenai apa yang benar dan yang salah.

Kreterian yang pertama menangkap gagasan integritas sebagai sesuatu yang menuntut suatu derajat perenungan moral. Tahap kedua membawa masuk cita-cita seseorang yang memiliki integritas sebagai orang yang teguh, yang mencukup perasaan memenuhi janji-janji. Tahap ketiga mengingatkan kita bahwa seseorang yang memiliki integritas itu tidak malu-malu melakukan hal yang benar.

Kewibawaan dan kejujuran dapat terefleksi dari kepatutan dan ketaatan kepada nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Independensi hakim untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, untuk terselengaranya Negara hukum republic Indonesia, menuntut hakim memilki integritas dan komitmen yang didasarkan pada kemampuan dan kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual[32].

Menurut Abdul Manan[33] integritas adalah keutuhan pribadi dalam bentuk kejujuran dan kepribadian yang baik. Selanjutnya dikatakan integrit hakim Peradilan Agama dapat terpelihara dengan berpegang teguh pada jabatan Pegawai Negeri Sipil, sumpah jabatan, ”kode etik hakim”[34] dan tetap berpegang kepada ajaran agama Islam sepanjang hidupnya.

Kreteria yang dikemukakan oleh Abdul Manan tersebut yang sangat esensi dari integritas hakim adalah pengaman terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Konsep taqwa yang bernilai universal yang terdiri atas antara lain nilai amanat, jujur, benar, adil, konsisten, malu atas kesalahan diperbuat, ikhlas dan menyakini Allah melihat segala perbuatannya yang dilakukan dimana pun dia berada, serta menghendaki segala aktifitas di peradilan dilakukakan semata untuk beribadah kepada Allah.

Apakah memang benar bahwa kekuasaan kehakiman itu mandiri atau independen dalam arti sebebas-bebasnya. Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman/peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis dibawah rule of law sebagaimana pemikiran mengenai Negara Hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965.

Demikianlah jelas bahwa secara nasional maupun internasional atau universal, independensi badan-badan peradilan dijamin. Menjadi pertanyaan bagi kita sekarang apakah hakekat independensi kekuasaan kehakiman itu memang harus mandiri dan merdeka dalam arti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya secara absolut? Menurut hemat Paulus Effendie Lotulung[35] tidak demikian, sebab tidak ada kekuasaan atau kewenangan di dunia ini yang tidak tak-terbatas, atau tanpa batas, kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa di dunia ini maupun di akhirat.

Selanjutnya dikatakan kekuasaan kehakiman yang independensi atau mandiri itu pada hakekatnya diikat dan dibatasi oleh rambu-rambu tertentu, sehingga dalam konferensi International Commission of Jurists dikatakan bahwa : "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrarymanner”.[36]

               Independensi adalah salah satu ciri universal dari pengadilan. Siapa pun tidak boleh mencampuri independensi hakim, namun bukan berari tidak bisa diawasi. Independensi atau kebebasan hakim dalam memutus perkara diberikan agar keadilan bisa dijamin tanpa campur tangan pihak luar.

Hakim sebagai penegak hukum tidak boleh bertindak sewenang-wenang akan tetapi mendapat restriksi yang sah dalam hukum terhadap itu, Ia harus sub-ordinated dan tidak dapat bertindak kontrak legem, hakimlah yang menjadi landasan dalam segala tindakan dan dan putusannya.[37] Sikap obyektifitas hakim sangat orgen dalam memeriksa dan mengadili para pihak yang berperkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana. Para pihak yang berperkara diperlakukan sama di depan hukum dan pengadilan, supaya orang yang merasa mulia tidak cenderung kepada kecurangan dan orang yang lemah tidak berputus asa atas keadilan yang diputuskan.[38]

4. Fasilitas Peradilan Agama

Ada tiga syarat[39] yang menjadi dasar dibentuk sebuah peradilan, 1) adanya legalitas; 2) adanya perangkat kelembagaan (hakim-hakim dan fasilitas fisiknya, dan 3) adanya hukum material yang dapat dijadikan pedoman dalam kompetensi absolutnya. Peradilan Agama memenuhi ketiga syarat tersebut.

Agar aparat Peradilan Agama menjalankan tugas dengan baik, mak perlu didukung dengan fasilitas sarana dan prasarana yang baik pula. Sarana dan prasarana sangat diperlukan adalah komputer, sarana persidangan, buku-buku perpustakaan, gedung Pengadilan Agama yang standar, dan sarana lain yang dapat mendukung tugas. Sampai sekarang, walaupun ada pembaharuan setelah satu atap dengan Mahkamah Agung, namun masih diterdapat gedung Pengadilan Agama belum memenuhi standar. Gedung Pengadilan Agama seperti balai sidang yang sempit tidak mencerminkan sebuah gedung lembaga kekuasaan kehakiman yang seharusnya berwibawa dan strategis dalam menegakkan hukum dan keadilan umat Islam pencari keadilan.[40]



[1]Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Al-Thuruq al-Hukmiyah fi al-Siyasah al-Syar’iyyah, diterjemahkan oleh Adnan Qahar dan Anshuruddin, dengan Judul Hukum Acara Peradilan Islam. Pustaka Pelajar, Jakarta, 2006, hal. 193

[2] Ibid., hal. 15

[3] M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2005, hal. 35

[4] Ibnu Qayyim al Jauziyah,loc.cit.

[5] Al bayyinatu ‘alaa al mudda’ii (Hadis), Ibid.

[6] Abdul Manan. Etika Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam Sisgtem Peradilan Islam), Prnada Media, Jakarta 2007, hal. 19

[7] Ijtihad terbagi atas ijtihad istinmbati dan ijtihad tatbiqi, keduan ijtihad tersebut bagi seorang hakim harus memilikinya setidak-tidaknya memiliki ijtihad tatbiqy, Abu Zahrah, Ushul Fiqh,

[8] Imam Abu Hanifah (mazhabHanafi), Imam Malik (mazhab Maliki), Imam Syafi’I (mazhab Syafi’i) dan Imam Ahmad bin Hambal (mazhab Hambali)

[9] Ibnu Rusyd, Bidyatul Mujthaid, Darul Fikr, Beirut, t.th., hal.

[10] Ibid.,

[11] Terdapat tiga golongan hakim, dua golongan masuk neraka (hakim yang getahuan hukum, tidak mempuyai pen, dan hakim berpengetahuan hukum dan memahami kebenaran tetapi memutuskan berdasarkan -fakata yang cacat) dan satu golongan masuk surga (hakim yang mempunyai pengetahuan hukum, dan memahami persoalan perkara dan memutuskan dengan benar. Abud Daud, Sunan Abud Daud. Juz II, Mustafa al Halabi, Mesir, 1952, hal. 487

[12] Muhammad Tahir Azahary, Negara Hukum. Suatu Studi tentang Prinsisp-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hal. 52

[13] Muhammad Tahir Azahary, “Hukum Keluarga dan Kewarisan Islam dalam Masyarakat Modern Indonesia” Laporan Seminar Sehari Pengadilan Agama Sebgai Peradilan Keluarga Dalam Masyarakat Modern. Kerja Sama Fakultas Hukum UI dengan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Agama, Jakarta, 1993, hal. 27

[14] Hakim dalam memutuskan perkara dengan tepat dan benar berdasarkan hasil ijtihad yang benar mendapat dua pahala, dan hasil ijtihad yang salah mendapat satu pahala. Abdu Daud, Sunan Abud Daud,

[15] Muhammad Tahir Azhary, op.cit., hal. 29

[16] Q.S. Al Juma.ah, ayat

[17] Syarat-yarat keshahihan, pelaku ekonomi bersifat amanah, jujur, adil, dan transparasi dalam melakukan transaksi serta barangnya halal dan berkualitas.

[18] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hal. 37

[19] Muhammad Salim Madkur, Alqadha’u fi al Islam, Terjemahkan oleh Imran dengan judul Peradilan dalam Islam. Bulan Bintang, Jakarta, 1982, hal. 25

[20]F. Magnis Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah Pokok Filsafat Hukum, Kanisus, Yogyakarta, 1991, hal. 1

[21]E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum, “Norma-norma Bagi Penegak Hukum”, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 33

[22] Suhrawardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam.Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 25

[24] Ibid.

[25] Ibid.

[26] Hasbi Ash Shiddiqy, op.cit., hal. 28

[27] Ibid., hal. 29

[28] Pasal 31-35 dan Pasal 41 mengandung asas-asas hukum yang terkait dengan kedudukan Hakim dan Pejabat Peradilan. M. Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Kencana, Jakarta, 2005, hal. 8-9

[29]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahas Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hal. 383

[30] Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, (Penyebab dan Solusinya), Ghalia Indonesia, Jakarta 2005, hal. 41

[31] Ibid.

[32]Busthanul Arifin, Masa Lampau Yang Belum Selesai, Percikan Pemikiran Tentang Hukum dan Pelaksanaan Hukum, O.C. Kaligis & associates, Jakarta, 2007, hal. 147-148

[33] Abdul Manan, op.cit., hal. 196

[34] Kode etik Hakim dirincikan atas, etika kepribadian hakim, etika melakukan tugas jabtan, etika pelayanan terhadap pencari keadilan dan etika hubungan sesama rekan hakim. Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1997, hal. 102-103

[35] Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)

[36] Paulus Effendie Lotulung, (www.lfip.org/tgl. 15-12-2007)

[37]John Z. Laudoe, Fakta dan Norma dalam Hukum Acara. Bina Aksara, Jakarta,1983, hal. 67

[38] Salah satu pesan Khalifah Umar bin Khatthab, Hasbi Ash Shiddieqy, op.cit., hal. 28

[39]Dadan Muttaqien, Sidik Tono dan Amir Mu’allim, op.cit., hal. 26

[40] Abdul Manan, op.cit., hal. 202

Tidak ada komentar: